Antibiotika (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali dengan kebanyakan keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal ini merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara Barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman.
Populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak/jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup komplex. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat.
Anak juga selalu dikatakan bahwa mereka bukan merupakan orang dewasa kecil, dan memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik.
Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini.
Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap jenis virus sangatlah banyak sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak.
Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (tanpa adanya kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 - 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, AB untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya.
Antibiotik sejak lama dianggap sebagai obat ajaib yang dapat membantu memerangi infeksi bakteri. Banyak orang beranggapan, semua gangguan kesehatan harus diatasi dengan antibiotik. Padahal, penggunaan antibiotik yang tidak rasional justru dapat merugikan dan menyebabkan resistensi bakteri. Keterangan itu disampaikan Prof. Amin Soebandrio, dalam Seminar Kesehatan Anak Paket Edukasi Orang Tua Sehat (Pesat) di Aula BAIS Jln. Gunung Agung No. 14 Bandung. ”Antibiotik hanya digunakan bila benar-benar diperlukan untuk mengobati infeksi bakteri. Jika gejala penyakit lebih ke arah infeksi virus, maka antibiotik tidak akan menolong,” ujar Amin. Dia menjelaskan, infeksi akibat bakteri yang memerlukan antibiotik, antara lain memiliki gejala suhu tubuh tinggi berkepanjangan, cairan hidung kental dan berwarna, serta batuk yang cukup lama. Sementara, untuk flu akibat infeksi virus tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Sementara itu, dr. Purnamawati Sujud Pujiarto, Sp.A.K, mengatakan, pasien atau konsumen harus mengetahui kapan mereka memerlukan antibiotik dan kapan tidak perlu mengonsumsinya. Kesadaran semacam itu, sangat membantu dokter karena tidak jarang justru pasien yang minta diberikan antibiotik.
”Semakin sering kita mengonsumsi antibiotik untuk penyakit akibat virus, semakin sering kita sakit. Penggunaan antibiotik yang berlebihan tidak akan menguntungkan, bahkan merugikan dan membahayakan,” katanya. Ia menyesalkan, masih banyak pola pikir yang salah di masyarakat bahwa penggunaan antibiotik dapat mempercepat kesembuhan termasuk pada penyakit infeksi virus. Padahal, hasil penelitian membuktikan, tidak ada perbedaan lama sakit antara kelompok yang memperoleh antibiotik dan yang tidak.
Resistensi bakteri
Prof. Amin menjelaskan, penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat, dapat menimbulkan resistensi bakteri. Artinya, bakteri dapat bertahan terhadap pengaruh suatu antibiotik. Ia juga menjelaskan, untuk mengembangkan antibiotik, memerlukan waktu 10-15 tahun, tetapi untuk bakteri agar resisten terhadap antibiotik, hanya perlu waktu 2-3 tahun.
Keberadaan bakteri yang sudah resisten dalam tubuh individu, kata Amin, juga dapat menimbulkan infeksi pada orang lain. Infeksi dapat terjadi di rumah sakit, masyarakat, dan melalui makanan. ”Jika sampai terjadi resistensi bakteri, maka penyakit yang kita alami biasanya bisa disembuhkan dengan antibiotik sederhana dan harga murah. Maka, selanjutnya memerlukan antibiotik yang lebih kompleks dengan harga ratusan ribu rupiah,” katanya.
Sementara itu, Purnamawati juga memaparkan, bakteri resisten selanjutnya dapat menginfeksi seluruh populasi. Sedangkan tidak ada antibiotik yang mempan membunuh bakteri resisten yang menginfeksi populasi, sekalipun orang di populasi tersebut baru pertama kali memakai antibiotik. ”Kenyataannya, kita terlalu boros dalam menggunakan antibiotik, sehingga bisa menimbulkan dampak buruk antara lain sakit berkepanjangan, biaya yang lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih toksik, dan waktu sakit yang lebih lama. Hal itu membuat kita dapat menularkan kuman resisten kepada komunitas,” ujar Purnamawati. Karena itu, menurut Purnamawati, pasien diharapkan tidak selalu meminta dokter memberikan antibiotik terutama untuk penyakit infeksi virus seperti flu, pilek, batuk, atau radang tenggorokan. Antisipasi penggunaan antibiotika pada anak anda, karena mereka adalah kekayaan terbaik anda.
Populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak/jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup komplex. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat.
Anak juga selalu dikatakan bahwa mereka bukan merupakan orang dewasa kecil, dan memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik.
Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini.
Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap jenis virus sangatlah banyak sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak.
Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (tanpa adanya kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 - 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, AB untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya.
Antibiotik sejak lama dianggap sebagai obat ajaib yang dapat membantu memerangi infeksi bakteri. Banyak orang beranggapan, semua gangguan kesehatan harus diatasi dengan antibiotik. Padahal, penggunaan antibiotik yang tidak rasional justru dapat merugikan dan menyebabkan resistensi bakteri. Keterangan itu disampaikan Prof. Amin Soebandrio, dalam Seminar Kesehatan Anak Paket Edukasi Orang Tua Sehat (Pesat) di Aula BAIS Jln. Gunung Agung No. 14 Bandung. ”Antibiotik hanya digunakan bila benar-benar diperlukan untuk mengobati infeksi bakteri. Jika gejala penyakit lebih ke arah infeksi virus, maka antibiotik tidak akan menolong,” ujar Amin. Dia menjelaskan, infeksi akibat bakteri yang memerlukan antibiotik, antara lain memiliki gejala suhu tubuh tinggi berkepanjangan, cairan hidung kental dan berwarna, serta batuk yang cukup lama. Sementara, untuk flu akibat infeksi virus tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Sementara itu, dr. Purnamawati Sujud Pujiarto, Sp.A.K, mengatakan, pasien atau konsumen harus mengetahui kapan mereka memerlukan antibiotik dan kapan tidak perlu mengonsumsinya. Kesadaran semacam itu, sangat membantu dokter karena tidak jarang justru pasien yang minta diberikan antibiotik.
”Semakin sering kita mengonsumsi antibiotik untuk penyakit akibat virus, semakin sering kita sakit. Penggunaan antibiotik yang berlebihan tidak akan menguntungkan, bahkan merugikan dan membahayakan,” katanya. Ia menyesalkan, masih banyak pola pikir yang salah di masyarakat bahwa penggunaan antibiotik dapat mempercepat kesembuhan termasuk pada penyakit infeksi virus. Padahal, hasil penelitian membuktikan, tidak ada perbedaan lama sakit antara kelompok yang memperoleh antibiotik dan yang tidak.
Resistensi bakteri
Prof. Amin menjelaskan, penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat, dapat menimbulkan resistensi bakteri. Artinya, bakteri dapat bertahan terhadap pengaruh suatu antibiotik. Ia juga menjelaskan, untuk mengembangkan antibiotik, memerlukan waktu 10-15 tahun, tetapi untuk bakteri agar resisten terhadap antibiotik, hanya perlu waktu 2-3 tahun.
Keberadaan bakteri yang sudah resisten dalam tubuh individu, kata Amin, juga dapat menimbulkan infeksi pada orang lain. Infeksi dapat terjadi di rumah sakit, masyarakat, dan melalui makanan. ”Jika sampai terjadi resistensi bakteri, maka penyakit yang kita alami biasanya bisa disembuhkan dengan antibiotik sederhana dan harga murah. Maka, selanjutnya memerlukan antibiotik yang lebih kompleks dengan harga ratusan ribu rupiah,” katanya.
Sementara itu, Purnamawati juga memaparkan, bakteri resisten selanjutnya dapat menginfeksi seluruh populasi. Sedangkan tidak ada antibiotik yang mempan membunuh bakteri resisten yang menginfeksi populasi, sekalipun orang di populasi tersebut baru pertama kali memakai antibiotik. ”Kenyataannya, kita terlalu boros dalam menggunakan antibiotik, sehingga bisa menimbulkan dampak buruk antara lain sakit berkepanjangan, biaya yang lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih toksik, dan waktu sakit yang lebih lama. Hal itu membuat kita dapat menularkan kuman resisten kepada komunitas,” ujar Purnamawati. Karena itu, menurut Purnamawati, pasien diharapkan tidak selalu meminta dokter memberikan antibiotik terutama untuk penyakit infeksi virus seperti flu, pilek, batuk, atau radang tenggorokan. Antisipasi penggunaan antibiotika pada anak anda, karena mereka adalah kekayaan terbaik anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar