Sabtu, 07 Maret 2009

Batu Ginjal (1)

MENGENAL BATU GINJAL

Ginjal dalam tubuh berfungsi sebagai filter untuk membersihkan darah/cairan lainnya. Fungsi ini bertujuan agar bahan-bahan kimia yang terkandung dalam darah atau cairan tubuh lainnya tidak terbawa kembali oleh darah dan beredar ke seluruh tubuh. Sebagian kotoran hasil penyaringan ini nantinya akan dikeluarkan melalui ginjal bersama air seni. Namun sebagian lagi mungkin tertinggal dan mengendap menjadi batu ginjal. Apabila endapan ini tidak dikeluarkan, akan menetap di ginjal atau berpindah ke kandung kemih.

Dalam istilah kedokteran, batu ginjal disebut Nephrolithiasis atau renal calculi. Batu ginjal adalah suatu keadaan terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau calyces dari ginjal atau di dalam saluran ureter. Pembentukan batu ginjal dapat terjadi di bagian mana saja dari saluran kencing, tetapi biasanya terbentuk pada dua bagian terbanyak pada ginjal, yaitu di pasu ginjal (renal pelvis) dan calix renalis. Batu dapat terbentuk dari kalsium, fosfat, atau kombinasi asam urat yang biasanya larut di dalam urine.

Batu ginjal bervariasi ukurannya, dapat bersifat tunggal atau ganda. Batu-batu tinggal dalam pasu ginjal atau dapat masuk ke dalam ureter dan dapat merusak jaringan ginjal. Batu yang besar akan merusak jaringan dengan tekanan atau mengakibatkan obstruksi, sehingga terjadi aliran kembali cairan. Kebanyakan batu ginjal dapat terjadi berulang-ulang.

Batu di dalam ginjal atau saluran kemih yang berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan gejala dan dapat keluar sendiri bersama air seni. Tetapi batu yang lebih besar dapat menimbulkan hambatan atau bahkan sumbatan aliran air seni. Jika hal ini terjadi maka akan timbul berbagai macam gejala, yang antara lain :
  1. Rasa nyeri yang berat dan tiba-tiba di daerah pinggang yang menjalar sampai pangkal paha. Rasa nyeri tidak berkurang walaupun penderita mencoba posisi-posisi tertentu, misalnya berbaring, membungkuk, dll. Penderita biasanya harus menggeliat menahan sakit. Bahkan karena rasa sakit yang amat sangat, seringkali penderita basah kuyup oleh keringat.
  2. Biasanya ada keluhan mual dan muntah.
  3. Walaupun tidak selalu, kadang kala dijumpai darah pada air seni. Hal ini terjadi karena batu mengiritasi saluran kemih sehingga menimbulkan luka.
  4. Perasaan terbakar di saluran kemih saat kencing.
  5. Rasa sangat ingin kecing.
  6. Demam.

Batu ginjal atau batu saluran kemih umumnya timbul akibat berubahnya keseimbangan normal antara air, garam, mineral, dan zat-zat lain dalam air seni. Jenis zat yang meninggi kadarnya menentukan jenis batu yang terbentuk. Beberapa jenis batu menurut zat yang membentuknya adalah:
  1. Batu kalsium; batu jenis ini paling sering ditemukan. Bentuknya besar dengan permukaan yang halus. Dapat berupa campuran antara kalsium dengan oksalat atau kalsium dengan fosfat. Batu kalsium sering dijumpai pada orang yang mempunyai kadar vitamin D berlebihan atau gangguan kelenjar paratiroid. Orang-orang yang menderita penyakit kanker, penyakit ginjal, atau penyakit sarkoidosis juga dapat menderita batu kalsium.
  2. Batu asam urat; permukaannya halus, berwarna coklat, dan lunak. Batu ini terbentuk akibat kadar asam urat pada air seni tinggi. Batu asam urat biasanya menyertai penyakit radang sendi akibat asam urat (gout arthritis).
  3. Batu struvite; batu ini biasanya berbentuk tanduk rusa. Timbul akibat kadar amoniak dalam air seni tinggi. Amoniak yang tinggi biasanya terjadi akibat adanya infeksi saluran kemih, karena bakteri penyebab infeksi dapat menghasilkan amoniak.
  4. Batu sistin; berbentuk kristal kekuningan. Timbul akibat tingginya kadar sistin dalam urin. Keadaan ini terjadi pada penyakit sistinuria. Batu jenis ini jarang dijumpai, hanya satu diantara seribu. Batu sistin biasanya mengenai penderita usia 10 – 30 tahun.
Penanganan dengan Herbal
Herbal yang digunakan untuk pengobatan batu ginjal adalah kombinasi antara BEDDIA dan STAMED.

Baca Selanjutnya....

Sabtu, 28 Februari 2009

T Y P U S

PENGERTIAN
Typus abdominalis (demam tifoid atau enteric fever/typhoid fever) ialah infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari. Penyebabnya adalah kuman salmonella typosa. Kuman ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, hidup dan berkembang dalam perut terutama di saluran empedu. Salmonella Typosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurangnya empat macam antigen, yaitu antigen O (somatik), H (flagella), Vi dan protein membran hialin.
Gejala awalnya seperti orang mau flu. Bedanya, demam typus umumnya muncul sore dan malam hari. Tidak disertai gejala batuk pilek. Demamnya sukar turun walau minum obat dan disertai nyeri kepala hebat. Terjadi gangguan pada saluran cerna misalnya perut terasa tidak enak, kembung, diare, muntah atau bahkan tidak bisa buang air besar dan gangguan kesadaran berupa ‘meranyau atau mengigau’. Penyakit typus bisa membawa kematian jika usus bocor akibat kuman tersebut. Kuman tersebut bisa dibunuh dengan antibiotika, tapi kadang-kadang tidak semua kuman mati terutama yang ada di kandung empedu dan sewaktu-waktu kuman tersebut keluar dari kandung empedu ke usus, jika daya tahan tubuh lemah maka typus akan kambuh lagi.

PATOGENESIS
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup masuk ke dalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak peyeri, selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah (disebut bakterimia primer).
Pada tahap berikutnya, Salmonella typosa menuju ke organ sistem retikulo endotelial yaitu hati, limpa, sumsum tulang dan organ lain (disebut bakteri sekunder). Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi Salmonella typosa.

MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 7 - 14 hari (rata-rata 3 – 30 hari) selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari.
Komplikasi typus umumnya muncul pada minggu kedua demam, yaitu jika mendadak suhu turun dan disangka sakitnya sudah menyembuh, namun denyut nadi meninggi, perut mulas melilit, dan pasien tampak sakit berat. Makanan tak selalu harus lunak, asal jangan jenis yang merangsang. Waspadai jika buang air ada darahnya, tanda awal usus jebol, dan demamnya muncul lagi, serta kondisi pasien cepat menurun setelah sebelumnya tampak menyembuh.
Tanda-tanda yang dapat diamati yaitu, lidah tampak berselaput putih susu sampai kecoklatan kotor, bagian ujung dan tepinya merah terang, bibir kering, mungkin sesekali mengalami buang-buang air dan kondisi fisik tampak lemah, serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut mungkin muncul gejala kuning, sebab pada typus organ hati bisa membengkak seperti gejala hepatitis. Organ limpa pun membesar dan terasa nyeri jika dilakukan perabaan.

PENANGANAN DENGAN HERBAL MEDDIA
Penggunaan produk MEDDIA Herbal untuk penanganan penyakit Typus adalah dengan Produk BANDRUX. Dari pengalaman yang sudah pernah kami tangani, BANDRUX satu paket sudah bisa menyembuhkan penyakit tersebut, bahkan kurang dari satu paket pun sudah bisa menyembuhkan.



Baca Selanjutnya....

Makanan Tradisional Dapat Mencegah Kanker

Kematian yang disebabkan penyakit kanker akan terus meningkat, jika tidak ada perubahan pola makan, perilaku, gaya hidup di masyarakat. Satu upaya bermakna yang bisa mengurangi penyakit kanker adalah lebih banyak mengonsumsi makanan tradisional (lokal).

"Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan, yang ditandai dengan menjamurnya "hypermarket", restoran cepat saji, waralaba, "food court" dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan "junk food" (makanan sampah) dengan risiko terkena kanker sangat tinggi," kata Prof dr Muhammad Sulchan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, belum lama ini.

Ditambahkan, penetrasi pangan global menyebabkan konvergensi makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan tidak sehat. Hal itu ditandai dari konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif.

Buruknya hubungan manusia dengan alam berpijak pada etika antroposentris-etika yang mengedepankan hasrat manusia atas alam yang berdampak pada eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, hiperkomodifikasi, terutama "fast food", dan hiper konsumsi. Kondisi itu membuat hidup masyarakat menjadi sangat konsumtif.

"Dari situlah malapetaka penyakit muncul, terutama penyakit-penyakit kronik termasuk kanker," kata Sulchan menegaskan.
Dalam sejarah peradaban, menurut Sulchan, manusia mengakses pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya.

"Alam semesta merupakan tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan yang sinergis," katanya.

Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. "Eksploitasi alam berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia sedang menuju ke arah itu," katanya.

Ia menjelaskan, beragam karsinogen (pemicu kanker) ada di dalam pangan, meliputi karsinogen pangan alamiah dan buatan, sumber subtansi selama penyimpanan, proses pengolahan panas tinggi, polutan, pestisida, bahan tambahan pangan, dan sekitar seribu zat bersifat karsinogen.

Menurut Sulchan, pengawetan dan pengolahan makanan dengan menggunakan garam, pengasapan bersifat inisiator dan promotor kanker. Makanan cepat saji menggunakan proses pengolahan dan pematangan yang berisiko menyebabkan kanker. "Westernisasi makanan meningkatkan risiko terkena kanker," katanya.

Untuk mengurangi risiko kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengonsumsi makanan lokal yang menggunakan bahan baku alami dan diolah secara tradisional. Selain itu, harus mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar, karena pada keduanya terdapat banyak zat yang bersifat antioksidan.

Ia menyebutkan, memakan tahu dan tempe berbahan kedelai lokal lebih sehat dibanding kedelai impor dari Amerika Serikat yang masuk kategori GMF (genetically modified food). Kedelai GMF banyak ditolak negara-negara Eropa.

"Konsumsi sayuran dan buah asli, bukan ekstraks," katanya mengingatkan.

Ia mencontohkan kasus kanker usus besar di Tanah Air menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1934 hanya ditemukan satu kasus, lalu pada 1937 menjadi tujuh, dan saat ini prevalensinya sekitar 1,8 per 100.000 penduduk.

"Dibandingkan prevalensi di AS dan negara maju lainnya, kasus kanker usus besar di Indonesia memang masih rendah. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengurangi jumlah pengidapnya," ujarnya.

Di AS, kata Sulchan, angka kejadiannya 40 per 100.000 orang, Eropa (30), Jepang (13), India (9), dan Nigeria 2,5 kasus per 100.000 penduduk.

Hal senada dikemukakan Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia, Prof Suhartati. Dalam kesempatan terpisah, di Jakarta, baru-baru ini, Prof Suhartati mengatakan, dunia terancam ledakan penyakit kanker dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. Diperkirakan akan ada 84 juta orang meninggal akibat penyakit kanker. "Ledakan kanker terutama terjadi di negara berkembang. Karena ada peningkatan penderita kanker sebanyak 300 persen pada tahun 2030," ujarnya.

Penyebabnya, menurut Prof Suhartati, karena penyakit kanker termasuk dalam neglected endemic atau penyakit yang tanpa gejala. Akibat ketidaktahuan akan penyakit itulah yang membuat masyarakat tidak melakukan pencegahan dini.

Hal ini dibuktikan dengan pasien yang datang sudah pada kondisi stadium lanjut. "Mereka datang dalam kondisi stadium advanced dan local advanced atau stadium 4," ujar Prof Tati.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir angka penderita kanker bertambah dari 3,64 persen tahun 1981 menjadi 6 persen di tahun 2001.

Data American Cancer Society mencatat, penyebab kematian terbesar pada wanita di dunia adalah kanker payudara (19 persen), kanker paru-paru (19 persen), serta kanker kolon dan rektum (15 persen).

Pada pria, penyakit kanker didominasi oleh kanker paru (34 persen), kanker kolon dan rektum (12 persen), serta kanker prostat (10 persen). Diperkirakan, 80-90 persen kanker disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan dan makanan.

"Dari sudut pandang gizi, diketahui bahwa energi, protein, zat besi, seng, dan vitamin A berperan penting dalam mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi zat-zat gizi tersebut akan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, dan akhirnya tubuh tidak mampu menahan karsinogenesis (pemicu terjadinya sel kanker)," ujarnya.

Dalam studi menggunakan hewan percobaan terbukti bahwa pembatasan makanan tertentu dapat mencegah pertumbuhan berbagai tumor. Teori yang mendasari hal itu ialah dengan pembatasan makanan akan menyebabkan perubahan hormonal di dalam tubuh, sehingga proses tumorigenesis (pembentukan tumor) menjadi terhambat.

"Penyakit tumor terlihat cenderung menimpa hewan percobaan (tikus) yang mempunyai berat badan berlebih akibat terlalu banyak makan," kata Prof Tati.

Makanan yang kaya akan lemak ternyata berkaitan erat dengan munculnya kanker usus dan kanker payudara. Sedangkan kandungan lemak yang rendah dan konsumsi serat yang tinggi, seperti pada pola makan vegetarian, dapat menekan jumlah penderita kanker.

Tumorigenesis akan semakin berkembang pada pola makan yang rendah lemak tak jenuh ganda. Lemak tak jenuh, baik tunggal maupun ganda, selama ini dikenal sebagai lemak yang bermanfaat bagi pencegahan penyakit jantung koroner. Bahan nabati seperti kacang-kacangan umumnya kaya akan lemak tak jenuh.

Hormon tertentu diduga ikut bertanggung jawab pada munculnya tumor. Pengeluaran hormon itu dipicu oleh konsumsi lemak yang tinggi. Contohnya adalah hormon prolaktin (serum) yang merangsang pertumbuhan tumor, ternyata kadarnya semakin meningkat apabila makanan yang kita konsumsi kaya akan kandungan lemak.

"Ketika kita memasak daging, terbentuklah senyawa HCA (senyawa amina-amina heterosiklis) yang dipercaya dapat menyebabkan kanker. HCA muncul sebagai reaksi antar protein hewani selama proses pemasakan atau browning (pencokelatan). Semakin sedikit HCA yang terbentuk, semakin sehat daging yang kita konsumsi," katanya.

Namun, diakui Prof Tati, banyak orang yang tidak tahu bahwa cara memasak makanan ternyata sangat mempengaruhi jumlah HCA yang terbentuk. Memanggang daging di dalam oven akan menghasilkan HCA lebih sedikit dibandingkan dengan menggoreng, membakar, atau memanggang di atas kompor yang suhunya tinggi.

Sedangkan merebus secara perlahan-lahan dengan panas bertahap, mengukus atau memasak dengan oven, praktis tidak menghasilkan HCA. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa HCA berpotensi mengakibatkan kanker usus besar, payudara, pankreas, hati, dan kandung kemih.

Studi yang dilakukan New York University Medical Center mengemukakan bahwa wanita yang rajin makan daging merah memiliki peluang menderita kanker payudara dua kali lipat, dibandingkan mereka yang hanya makan daging unggas dan ikan.

"Mengonsumsi daging sebaiknya selalu disertai dengan sayur dan buah sebagai sumber antioksidan. Buah-buahan seperti jeruk, sangat kaya akan vitamin C yang merupakan golongan antioksidan kuat. Demikian juga konsumsi sayuran berwarna hijau juga akan menetralkan pembentukan HCA," ucapnya. (Tri Wahyuni/dari berbagai sumber)

Sumber: Suarakarya.com dalam gizi.net


Baca Selanjutnya....

Jumat, 27 Februari 2009

Pola Makan Pemicu Kanker Kolon

Kecenderungan masyarakat modern yang menerapkan pola makan buruk, kebiasaan tidak suka sayuran atau makanan berserat, gemar mengonsumsi daging merah atau pun makanan cepat saji (fast food), ternyata telah mengakibatkan kasus penyakit kanker usus besar (colon) terus meningkat.

Seperti diungkapkan ahli gastroenterologi dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Dr Ari Fahril Syam SpPD-KGEH, MMB, tren kasus kanker usus besar akhir-akhir ini makin terlihat di masyarakat.

¨Trennya bisa dibilang terus meningkat. Memang belum ada data pasti mengenai prevalensi penyakit kanker di Inidonesia, tetapi kalau berdasarkan data pasien di RSCM, jika dulu ditemukan satu kasus setiap minggunya, kini meningkat hingga dua kasus setiap minggunya,¨ ungkap Dr Ari di sela-sela diskusi dengan media massa di Jakarta, Selasa (8/4).

Ia menambahkan, tren meningkatnya kanker usus besar ini tidak terlepas dari berbagai faktor seperti genetika, pola makan yang buruk hingga konsumsi lemak berlebihan dan kurangnya makanan berserat.

¨Kanker ini sekarang banyak ditemukan baik pada pria maupun wanita, pada usia rata-rata 40 hingga 50 tahun. Ini bisa terjadi karena kurangnya makanan tinggi serat serta akibat terlalu banyak konsumsi lemak sehingga menimbulkan perlukaan pada usus, sembelit, timbul polip dan gangguan usus lainnya. Untuk itulah masyarakat juga disarankan untu melakukan deteksi dini, terutama bagi yang berusia 40-an,¨ ujarnya.

Dr Ari berpesan, kalaupun harus mengonsumsi daging, masyarakat sebaiknya mengimbanginya dengan sayuran atau pun makanan berserat supaya pencernaannya tidak terganggu. Selain itu, Dr Ari juga menyarankan masyarakat untuk lebih memilih daging putih yang relatif lebih menyehatkan bagi tubuh ketimbang daging merah.

¨Daging merah itu kandungan kolesterol dan lemaknya relatif lebih tinggi ketimbang daging putih. Banyak pula penelitian yang menyebutkan bahwa daging merah berkaitan dengan beragam jenis penyakit kanker,¨ terangnya.

Dr Ari menjelaskan pula, awal terjadinya kanker ini berkaitan dengan munculnya polip di usus besar. Gejala kanker ini nyaris mirip dengan diare, yaitu adanya darah dalam tinja. Gejala akhir termasuk pucat, sakit pada umumnya, kurus, malnutrisi, lemah, terjadi cairan di dalam rongga perut, pembesaran hati, serta pelebaran saluran limpa.

Pemeriksaan atau deteksi kanker usus besar kini dapat dilakukan dengan banyak cara termasuk dengan metode fiberoptik kolonoskopi atau pun CT-Scan. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan ditemukannya MultiDetectorsCT (MSCT), kolonoskopi bisa dilakukan secara cepat dan lebih nyaman bagi pasien. Hasil yang diperoleh pun relatif akurat, karena alat itu mampu menghasilkan 16 slice, sehingga pemeriksaan lebih detail.

Source: http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/08/14512450/pola.makan.buruk.tren.kanker.usus.besar.meningkat

Baca Selanjutnya....

Sabtu, 21 Februari 2009

Radang Usus (Colitis Ulseratif) Bisa Menjadi Kanker

DINFLAMATORY Bowel Disease (IBD) adalah penyakit organik saluran cerna bagian bawah, yang manifestasinya berupa peradangan yang bukan akibat infeksi dan berlangsung kronik. Penyakit ini selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak mudah mendiagnosis penyakit ini. Tidak ada gambaran klinis khas, gambaran endoskopik (pemeriksaan teropong usus) tidak spesifik, begitu juga gambaran histopatologiknya (pemeriksaan jaringan).

IBD terbagi atas 2 macam yaitu colitis ulseratif dan penyakit Crohn. Banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin berat. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan insiden IBD masih rendah namun cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati bisa berkembang menjadi kanker kolon yang dapat merenggut nyawa.

Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien IBD di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Diduga peningkatan ini ada hubungan dengan membaiknya sanitasi dan meningkatnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan hampir 20% kasus IBD dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insidens colitis ulseratif 6,8% dan penyakit Crohn 5,5%.

MANIFESTASI KLINIK
Secara umum penyakit pasien datang dengan keluhan demam, nyeri perut, diare, berat badan turun, malnutrisi dan perdarahan per anus. Perbedaan penyakit Crohn dan Kolitis ulseratif didasarkan pada gambaran klinik yang berbeda pada kedua kelompok penyakit ini.

Pasien dengan penyakit Crohn biasanya datang dengan keluhan awal adanya fistula (lubang tembus) pada anus, selain itu ditemukan massa pada perut. Dilihat dari lokasi yang terkena, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon (usus besar), sedang penyakit
Crohn dapat mengenai kolon dan usus halus terutama ileum (bagian akhir dari usus halus) dan lambung.

Dari sudut komplikasi yang terjadi, pada kolitis ulseratif kemungkinan menjadi kanker lebih besar dibandingkan pada penyakit
Crohn. Komplikasi berupa penyempitan umum dijumpai pada penyakit Crohn, sedang pada kolitis ulseratif tidak.

FAKTOR RESIKO

Meski patogenesis IBD sangat kompleks dan multifaktorial, tapi diyakini disebabkan hasil interaksi antara lingkungan, genetik, mikroba dan faktor imunitas. Hubungan merokok dengan penyakit
Crohn serta hubungan tidak merokok dengan kolitis ulseratif telah diketahui, meski mekanismenya belum jelas. Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian nikotin pada pengobatan kolitis ulseratif. Perubahan lingkungan, seperti perumahan yang lebih bersih, nutrisi yang baik, higienitas yang lebih baik serta penggunaan antibiotik yang luas telah menyebabkan penurunan prevalensi penyakit infeksi.

Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit alergi dan penyakit autoimun, termasuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (obat anti radang) dan tindakan appendectomy (operasi usus buntu) dini, menyebabkan gangguan barrier usus yang menyebabkan penurunan insidens kolitis ulseratif. Berbagai penelitian menunjukkan, risiko absolut IBD mencapai 7% diantara anggota keluarga tingkat pertama. Risiko mengalami IBD pada orang tua/saudara kandung adalah 8,9% untuk anak, 8,8% untuk saudara dan 3,5% untuk orang tua.

Berbagai pengamatan menunjukkan faktor genetik berkontribusi pada kerentanan individu terhadap IBD, yang menyebabkan variasi dalam insidens dan prevalensi penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif pada berbagai populasi. Kemungkinan IBD disebabkan oleh infeksi kuman belum bisa sepenuhnya disingkirkan. Lesi IBD lebih sering muncul di lokasi dengan densitas bakteri yang padat, seperti di valvula ileosekal (katup yang menghubungkan usus halus dan usus besar) dan kolon.

Imunoregulasi dalam usus merupakan hal yang sangat kompleks dalam patofisiologi jenis IBD, seperti kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn yang menimbulkan profil imunologis yang berbeda. Ini berakibat pada pengobatan yang semestinya diberikan sesuai dengan patogenesis masing-masing IBD.

DIAGNOSIS

Tidak adanya gambaran klinis yang khas pada IBD menyulitkan untuk didiagnosis. Gejala klinis penyakit ini adalah nyeri dan kejang perut, diare kronis bercampur darah, suhu badan meninggi, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan anemia (kurang darah) akibat kehilangan darah yang kronis.

Peranan pemerikasaan radiologi penting untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (zat kontras yang dimasukkan melalui anus), masih merupakan pemeriksaan utama pada kasus-kasus penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium enema memberi gambaran pasti untuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn.

Pada penyakit
Crohn, awalnya akan terlihat penebalan pada dinding usus halus pada bagian distal (bagian akhir) dan kolon. Secara khas penebalan usus bisa mencapai 5 – 15 mm. Pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mendeteksi adanya edema (pembengkakan karena terisi cairan) mesenterium, fistula, abses dan pembesaran kelenjar getah bening. Endoskopi memegang peranan penting, bukan saja untuk melakukan diagnosis, tetapi juga tatalaksana dan pengawasan untuk penyakit IBD. Endoskopi dapat menyingkirkan kemungkinan lain dari IBD seperti keganasan atau TBC usus. Pemeriksaan endoskopi dapat membedakan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif didasarkan bentuk lesi yang ditemukan, lokasi lesi, bagian kolon atau usus halus yang terlibat serta luasnya lesi.
Melalui edoskopi juga bisa melakukan biopsi untuk mendapatkan sampel dari jaringan yang terkena, untuk evaluasi histopatologi (pemeriksaan jaringan).

PENATALAKSANAAN

Malnutrisi merupakan problem klinis yang penting pada pasien IBD. Berat badan pasien sering turun, hipoalbuminemia (kekurangan kadar protein albumin dalam darah), anemia (kurang kadar Hb/Hemoglobin darah), dan defisiensi vitamin D. Terapi nutrisi merupakan salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan IBD. Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien IBD yaitu mengobati defisiensi nutrisi dan mengurangi radang.

Defisiensi beberapa nutrien spesifik bisa diatasi dengan memberikan suplemen berupa zat besi per oral (melalui mulut) atau parenteral (melalui infus) penting diberikan pada pasien dengan perdarahan usus. Suplementasi khusus dengan kalsium, magnesium, zinc, vitamin B12, D dan K dibutuhkan bila ada manifestasi klinis/biokimiawi dari defisiensi. Makanan tertentu yang merangsang, dan yang menimbulkan keluhan atau eksaserbasi (kekambuhan) seperti nyeri perut atau diare, sebaiknya dihentikan.

Bila ada intoleransi (tak tahan) laktosa, sebaiknya menghindari susu sapi. Pasien striktur harus menghindari makanan yang tinggi serat dan residu seperti kacang-kacangan, pop corn dan sereal. Suplementasi asupan per oral dengan diet formula khusus, dapat mencegah atau memperbaiki malnutrisi. Diet formula khusus dapat diberikan per oral atau dengan pipa nasogastrik. Beberapa pasien IBD memerlukan nutrisi parenteral, misalnya pada obstruksi (sumbatan) usus halus kronik yang tidak dapat dioperasi atau pada pasien setelah (pemotongan) usus halus dalam jumlah besar.

Operasi atas indikasi yang tepat akan sangat menurunkan angka kematian karena komplikasi seperti megakolon toksik, perforasi (usus bocor), sepsis (panas tinggi karena infeksi berat yang menyebar lewat darah keseluruh tubuh) dan komplikasi akut lainnya seperti striktur dan perdarahan hebat. Operasi yang biasa dilakukan adalah proktokolektomi dan ileostomi.

Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan lamanya penyakit IBD. Terdapat 2% insiden kanker setelah 10 tahun, 9% setelah 20 tahun dan 19% setelah 30 tahun. Karena resiko berkembangnya kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan berjalannya waktu, direkomendasikan untuk melakukan proktokolektomi total untuk pasien IBD lebih dari 8 – 10 tahun.

(Sumber:Harian Suara Merdeka, Senin 17 April 2006)
(Dr. Djoko Merdikoputro, Sp.PD)

Analisis Meddia Herbal:
PENANGANAN DENGAN MEDDIA HERBAL

Terapi untuk kasus IBD dapat dilakukan dengan
menggunakan produk MEDDIA Herbal yaitu BANDRUX, jika sudah mengalami perdarahan maka ditambahkan PASCOP.



Baca Selanjutnya....