Sabtu, 28 Februari 2009

T Y P U S

PENGERTIAN
Typus abdominalis (demam tifoid atau enteric fever/typhoid fever) ialah infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari. Penyebabnya adalah kuman salmonella typosa. Kuman ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, hidup dan berkembang dalam perut terutama di saluran empedu. Salmonella Typosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurangnya empat macam antigen, yaitu antigen O (somatik), H (flagella), Vi dan protein membran hialin.
Gejala awalnya seperti orang mau flu. Bedanya, demam typus umumnya muncul sore dan malam hari. Tidak disertai gejala batuk pilek. Demamnya sukar turun walau minum obat dan disertai nyeri kepala hebat. Terjadi gangguan pada saluran cerna misalnya perut terasa tidak enak, kembung, diare, muntah atau bahkan tidak bisa buang air besar dan gangguan kesadaran berupa ‘meranyau atau mengigau’. Penyakit typus bisa membawa kematian jika usus bocor akibat kuman tersebut. Kuman tersebut bisa dibunuh dengan antibiotika, tapi kadang-kadang tidak semua kuman mati terutama yang ada di kandung empedu dan sewaktu-waktu kuman tersebut keluar dari kandung empedu ke usus, jika daya tahan tubuh lemah maka typus akan kambuh lagi.

PATOGENESIS
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup masuk ke dalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak peyeri, selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah (disebut bakterimia primer).
Pada tahap berikutnya, Salmonella typosa menuju ke organ sistem retikulo endotelial yaitu hati, limpa, sumsum tulang dan organ lain (disebut bakteri sekunder). Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi Salmonella typosa.

MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 7 - 14 hari (rata-rata 3 – 30 hari) selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari.
Komplikasi typus umumnya muncul pada minggu kedua demam, yaitu jika mendadak suhu turun dan disangka sakitnya sudah menyembuh, namun denyut nadi meninggi, perut mulas melilit, dan pasien tampak sakit berat. Makanan tak selalu harus lunak, asal jangan jenis yang merangsang. Waspadai jika buang air ada darahnya, tanda awal usus jebol, dan demamnya muncul lagi, serta kondisi pasien cepat menurun setelah sebelumnya tampak menyembuh.
Tanda-tanda yang dapat diamati yaitu, lidah tampak berselaput putih susu sampai kecoklatan kotor, bagian ujung dan tepinya merah terang, bibir kering, mungkin sesekali mengalami buang-buang air dan kondisi fisik tampak lemah, serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut mungkin muncul gejala kuning, sebab pada typus organ hati bisa membengkak seperti gejala hepatitis. Organ limpa pun membesar dan terasa nyeri jika dilakukan perabaan.

PENANGANAN DENGAN HERBAL MEDDIA
Penggunaan produk MEDDIA Herbal untuk penanganan penyakit Typus adalah dengan Produk BANDRUX. Dari pengalaman yang sudah pernah kami tangani, BANDRUX satu paket sudah bisa menyembuhkan penyakit tersebut, bahkan kurang dari satu paket pun sudah bisa menyembuhkan.



Baca Selanjutnya....

Makanan Tradisional Dapat Mencegah Kanker

Kematian yang disebabkan penyakit kanker akan terus meningkat, jika tidak ada perubahan pola makan, perilaku, gaya hidup di masyarakat. Satu upaya bermakna yang bisa mengurangi penyakit kanker adalah lebih banyak mengonsumsi makanan tradisional (lokal).

"Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan, yang ditandai dengan menjamurnya "hypermarket", restoran cepat saji, waralaba, "food court" dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan "junk food" (makanan sampah) dengan risiko terkena kanker sangat tinggi," kata Prof dr Muhammad Sulchan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, belum lama ini.

Ditambahkan, penetrasi pangan global menyebabkan konvergensi makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan tidak sehat. Hal itu ditandai dari konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif.

Buruknya hubungan manusia dengan alam berpijak pada etika antroposentris-etika yang mengedepankan hasrat manusia atas alam yang berdampak pada eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, hiperkomodifikasi, terutama "fast food", dan hiper konsumsi. Kondisi itu membuat hidup masyarakat menjadi sangat konsumtif.

"Dari situlah malapetaka penyakit muncul, terutama penyakit-penyakit kronik termasuk kanker," kata Sulchan menegaskan.
Dalam sejarah peradaban, menurut Sulchan, manusia mengakses pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya.

"Alam semesta merupakan tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan yang sinergis," katanya.

Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. "Eksploitasi alam berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia sedang menuju ke arah itu," katanya.

Ia menjelaskan, beragam karsinogen (pemicu kanker) ada di dalam pangan, meliputi karsinogen pangan alamiah dan buatan, sumber subtansi selama penyimpanan, proses pengolahan panas tinggi, polutan, pestisida, bahan tambahan pangan, dan sekitar seribu zat bersifat karsinogen.

Menurut Sulchan, pengawetan dan pengolahan makanan dengan menggunakan garam, pengasapan bersifat inisiator dan promotor kanker. Makanan cepat saji menggunakan proses pengolahan dan pematangan yang berisiko menyebabkan kanker. "Westernisasi makanan meningkatkan risiko terkena kanker," katanya.

Untuk mengurangi risiko kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengonsumsi makanan lokal yang menggunakan bahan baku alami dan diolah secara tradisional. Selain itu, harus mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar, karena pada keduanya terdapat banyak zat yang bersifat antioksidan.

Ia menyebutkan, memakan tahu dan tempe berbahan kedelai lokal lebih sehat dibanding kedelai impor dari Amerika Serikat yang masuk kategori GMF (genetically modified food). Kedelai GMF banyak ditolak negara-negara Eropa.

"Konsumsi sayuran dan buah asli, bukan ekstraks," katanya mengingatkan.

Ia mencontohkan kasus kanker usus besar di Tanah Air menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1934 hanya ditemukan satu kasus, lalu pada 1937 menjadi tujuh, dan saat ini prevalensinya sekitar 1,8 per 100.000 penduduk.

"Dibandingkan prevalensi di AS dan negara maju lainnya, kasus kanker usus besar di Indonesia memang masih rendah. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengurangi jumlah pengidapnya," ujarnya.

Di AS, kata Sulchan, angka kejadiannya 40 per 100.000 orang, Eropa (30), Jepang (13), India (9), dan Nigeria 2,5 kasus per 100.000 penduduk.

Hal senada dikemukakan Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia, Prof Suhartati. Dalam kesempatan terpisah, di Jakarta, baru-baru ini, Prof Suhartati mengatakan, dunia terancam ledakan penyakit kanker dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. Diperkirakan akan ada 84 juta orang meninggal akibat penyakit kanker. "Ledakan kanker terutama terjadi di negara berkembang. Karena ada peningkatan penderita kanker sebanyak 300 persen pada tahun 2030," ujarnya.

Penyebabnya, menurut Prof Suhartati, karena penyakit kanker termasuk dalam neglected endemic atau penyakit yang tanpa gejala. Akibat ketidaktahuan akan penyakit itulah yang membuat masyarakat tidak melakukan pencegahan dini.

Hal ini dibuktikan dengan pasien yang datang sudah pada kondisi stadium lanjut. "Mereka datang dalam kondisi stadium advanced dan local advanced atau stadium 4," ujar Prof Tati.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir angka penderita kanker bertambah dari 3,64 persen tahun 1981 menjadi 6 persen di tahun 2001.

Data American Cancer Society mencatat, penyebab kematian terbesar pada wanita di dunia adalah kanker payudara (19 persen), kanker paru-paru (19 persen), serta kanker kolon dan rektum (15 persen).

Pada pria, penyakit kanker didominasi oleh kanker paru (34 persen), kanker kolon dan rektum (12 persen), serta kanker prostat (10 persen). Diperkirakan, 80-90 persen kanker disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan dan makanan.

"Dari sudut pandang gizi, diketahui bahwa energi, protein, zat besi, seng, dan vitamin A berperan penting dalam mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi zat-zat gizi tersebut akan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, dan akhirnya tubuh tidak mampu menahan karsinogenesis (pemicu terjadinya sel kanker)," ujarnya.

Dalam studi menggunakan hewan percobaan terbukti bahwa pembatasan makanan tertentu dapat mencegah pertumbuhan berbagai tumor. Teori yang mendasari hal itu ialah dengan pembatasan makanan akan menyebabkan perubahan hormonal di dalam tubuh, sehingga proses tumorigenesis (pembentukan tumor) menjadi terhambat.

"Penyakit tumor terlihat cenderung menimpa hewan percobaan (tikus) yang mempunyai berat badan berlebih akibat terlalu banyak makan," kata Prof Tati.

Makanan yang kaya akan lemak ternyata berkaitan erat dengan munculnya kanker usus dan kanker payudara. Sedangkan kandungan lemak yang rendah dan konsumsi serat yang tinggi, seperti pada pola makan vegetarian, dapat menekan jumlah penderita kanker.

Tumorigenesis akan semakin berkembang pada pola makan yang rendah lemak tak jenuh ganda. Lemak tak jenuh, baik tunggal maupun ganda, selama ini dikenal sebagai lemak yang bermanfaat bagi pencegahan penyakit jantung koroner. Bahan nabati seperti kacang-kacangan umumnya kaya akan lemak tak jenuh.

Hormon tertentu diduga ikut bertanggung jawab pada munculnya tumor. Pengeluaran hormon itu dipicu oleh konsumsi lemak yang tinggi. Contohnya adalah hormon prolaktin (serum) yang merangsang pertumbuhan tumor, ternyata kadarnya semakin meningkat apabila makanan yang kita konsumsi kaya akan kandungan lemak.

"Ketika kita memasak daging, terbentuklah senyawa HCA (senyawa amina-amina heterosiklis) yang dipercaya dapat menyebabkan kanker. HCA muncul sebagai reaksi antar protein hewani selama proses pemasakan atau browning (pencokelatan). Semakin sedikit HCA yang terbentuk, semakin sehat daging yang kita konsumsi," katanya.

Namun, diakui Prof Tati, banyak orang yang tidak tahu bahwa cara memasak makanan ternyata sangat mempengaruhi jumlah HCA yang terbentuk. Memanggang daging di dalam oven akan menghasilkan HCA lebih sedikit dibandingkan dengan menggoreng, membakar, atau memanggang di atas kompor yang suhunya tinggi.

Sedangkan merebus secara perlahan-lahan dengan panas bertahap, mengukus atau memasak dengan oven, praktis tidak menghasilkan HCA. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa HCA berpotensi mengakibatkan kanker usus besar, payudara, pankreas, hati, dan kandung kemih.

Studi yang dilakukan New York University Medical Center mengemukakan bahwa wanita yang rajin makan daging merah memiliki peluang menderita kanker payudara dua kali lipat, dibandingkan mereka yang hanya makan daging unggas dan ikan.

"Mengonsumsi daging sebaiknya selalu disertai dengan sayur dan buah sebagai sumber antioksidan. Buah-buahan seperti jeruk, sangat kaya akan vitamin C yang merupakan golongan antioksidan kuat. Demikian juga konsumsi sayuran berwarna hijau juga akan menetralkan pembentukan HCA," ucapnya. (Tri Wahyuni/dari berbagai sumber)

Sumber: Suarakarya.com dalam gizi.net


Baca Selanjutnya....

Jumat, 27 Februari 2009

Pola Makan Pemicu Kanker Kolon

Kecenderungan masyarakat modern yang menerapkan pola makan buruk, kebiasaan tidak suka sayuran atau makanan berserat, gemar mengonsumsi daging merah atau pun makanan cepat saji (fast food), ternyata telah mengakibatkan kasus penyakit kanker usus besar (colon) terus meningkat.

Seperti diungkapkan ahli gastroenterologi dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Dr Ari Fahril Syam SpPD-KGEH, MMB, tren kasus kanker usus besar akhir-akhir ini makin terlihat di masyarakat.

¨Trennya bisa dibilang terus meningkat. Memang belum ada data pasti mengenai prevalensi penyakit kanker di Inidonesia, tetapi kalau berdasarkan data pasien di RSCM, jika dulu ditemukan satu kasus setiap minggunya, kini meningkat hingga dua kasus setiap minggunya,¨ ungkap Dr Ari di sela-sela diskusi dengan media massa di Jakarta, Selasa (8/4).

Ia menambahkan, tren meningkatnya kanker usus besar ini tidak terlepas dari berbagai faktor seperti genetika, pola makan yang buruk hingga konsumsi lemak berlebihan dan kurangnya makanan berserat.

¨Kanker ini sekarang banyak ditemukan baik pada pria maupun wanita, pada usia rata-rata 40 hingga 50 tahun. Ini bisa terjadi karena kurangnya makanan tinggi serat serta akibat terlalu banyak konsumsi lemak sehingga menimbulkan perlukaan pada usus, sembelit, timbul polip dan gangguan usus lainnya. Untuk itulah masyarakat juga disarankan untu melakukan deteksi dini, terutama bagi yang berusia 40-an,¨ ujarnya.

Dr Ari berpesan, kalaupun harus mengonsumsi daging, masyarakat sebaiknya mengimbanginya dengan sayuran atau pun makanan berserat supaya pencernaannya tidak terganggu. Selain itu, Dr Ari juga menyarankan masyarakat untuk lebih memilih daging putih yang relatif lebih menyehatkan bagi tubuh ketimbang daging merah.

¨Daging merah itu kandungan kolesterol dan lemaknya relatif lebih tinggi ketimbang daging putih. Banyak pula penelitian yang menyebutkan bahwa daging merah berkaitan dengan beragam jenis penyakit kanker,¨ terangnya.

Dr Ari menjelaskan pula, awal terjadinya kanker ini berkaitan dengan munculnya polip di usus besar. Gejala kanker ini nyaris mirip dengan diare, yaitu adanya darah dalam tinja. Gejala akhir termasuk pucat, sakit pada umumnya, kurus, malnutrisi, lemah, terjadi cairan di dalam rongga perut, pembesaran hati, serta pelebaran saluran limpa.

Pemeriksaan atau deteksi kanker usus besar kini dapat dilakukan dengan banyak cara termasuk dengan metode fiberoptik kolonoskopi atau pun CT-Scan. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan ditemukannya MultiDetectorsCT (MSCT), kolonoskopi bisa dilakukan secara cepat dan lebih nyaman bagi pasien. Hasil yang diperoleh pun relatif akurat, karena alat itu mampu menghasilkan 16 slice, sehingga pemeriksaan lebih detail.

Source: http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/08/14512450/pola.makan.buruk.tren.kanker.usus.besar.meningkat

Baca Selanjutnya....

Sabtu, 21 Februari 2009

Radang Usus (Colitis Ulseratif) Bisa Menjadi Kanker

DINFLAMATORY Bowel Disease (IBD) adalah penyakit organik saluran cerna bagian bawah, yang manifestasinya berupa peradangan yang bukan akibat infeksi dan berlangsung kronik. Penyakit ini selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak mudah mendiagnosis penyakit ini. Tidak ada gambaran klinis khas, gambaran endoskopik (pemeriksaan teropong usus) tidak spesifik, begitu juga gambaran histopatologiknya (pemeriksaan jaringan).

IBD terbagi atas 2 macam yaitu colitis ulseratif dan penyakit Crohn. Banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin berat. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan insiden IBD masih rendah namun cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati bisa berkembang menjadi kanker kolon yang dapat merenggut nyawa.

Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien IBD di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Diduga peningkatan ini ada hubungan dengan membaiknya sanitasi dan meningkatnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan hampir 20% kasus IBD dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insidens colitis ulseratif 6,8% dan penyakit Crohn 5,5%.

MANIFESTASI KLINIK
Secara umum penyakit pasien datang dengan keluhan demam, nyeri perut, diare, berat badan turun, malnutrisi dan perdarahan per anus. Perbedaan penyakit Crohn dan Kolitis ulseratif didasarkan pada gambaran klinik yang berbeda pada kedua kelompok penyakit ini.

Pasien dengan penyakit Crohn biasanya datang dengan keluhan awal adanya fistula (lubang tembus) pada anus, selain itu ditemukan massa pada perut. Dilihat dari lokasi yang terkena, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon (usus besar), sedang penyakit
Crohn dapat mengenai kolon dan usus halus terutama ileum (bagian akhir dari usus halus) dan lambung.

Dari sudut komplikasi yang terjadi, pada kolitis ulseratif kemungkinan menjadi kanker lebih besar dibandingkan pada penyakit
Crohn. Komplikasi berupa penyempitan umum dijumpai pada penyakit Crohn, sedang pada kolitis ulseratif tidak.

FAKTOR RESIKO

Meski patogenesis IBD sangat kompleks dan multifaktorial, tapi diyakini disebabkan hasil interaksi antara lingkungan, genetik, mikroba dan faktor imunitas. Hubungan merokok dengan penyakit
Crohn serta hubungan tidak merokok dengan kolitis ulseratif telah diketahui, meski mekanismenya belum jelas. Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian nikotin pada pengobatan kolitis ulseratif. Perubahan lingkungan, seperti perumahan yang lebih bersih, nutrisi yang baik, higienitas yang lebih baik serta penggunaan antibiotik yang luas telah menyebabkan penurunan prevalensi penyakit infeksi.

Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit alergi dan penyakit autoimun, termasuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (obat anti radang) dan tindakan appendectomy (operasi usus buntu) dini, menyebabkan gangguan barrier usus yang menyebabkan penurunan insidens kolitis ulseratif. Berbagai penelitian menunjukkan, risiko absolut IBD mencapai 7% diantara anggota keluarga tingkat pertama. Risiko mengalami IBD pada orang tua/saudara kandung adalah 8,9% untuk anak, 8,8% untuk saudara dan 3,5% untuk orang tua.

Berbagai pengamatan menunjukkan faktor genetik berkontribusi pada kerentanan individu terhadap IBD, yang menyebabkan variasi dalam insidens dan prevalensi penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif pada berbagai populasi. Kemungkinan IBD disebabkan oleh infeksi kuman belum bisa sepenuhnya disingkirkan. Lesi IBD lebih sering muncul di lokasi dengan densitas bakteri yang padat, seperti di valvula ileosekal (katup yang menghubungkan usus halus dan usus besar) dan kolon.

Imunoregulasi dalam usus merupakan hal yang sangat kompleks dalam patofisiologi jenis IBD, seperti kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn yang menimbulkan profil imunologis yang berbeda. Ini berakibat pada pengobatan yang semestinya diberikan sesuai dengan patogenesis masing-masing IBD.

DIAGNOSIS

Tidak adanya gambaran klinis yang khas pada IBD menyulitkan untuk didiagnosis. Gejala klinis penyakit ini adalah nyeri dan kejang perut, diare kronis bercampur darah, suhu badan meninggi, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan anemia (kurang darah) akibat kehilangan darah yang kronis.

Peranan pemerikasaan radiologi penting untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (zat kontras yang dimasukkan melalui anus), masih merupakan pemeriksaan utama pada kasus-kasus penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium enema memberi gambaran pasti untuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn.

Pada penyakit
Crohn, awalnya akan terlihat penebalan pada dinding usus halus pada bagian distal (bagian akhir) dan kolon. Secara khas penebalan usus bisa mencapai 5 – 15 mm. Pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mendeteksi adanya edema (pembengkakan karena terisi cairan) mesenterium, fistula, abses dan pembesaran kelenjar getah bening. Endoskopi memegang peranan penting, bukan saja untuk melakukan diagnosis, tetapi juga tatalaksana dan pengawasan untuk penyakit IBD. Endoskopi dapat menyingkirkan kemungkinan lain dari IBD seperti keganasan atau TBC usus. Pemeriksaan endoskopi dapat membedakan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif didasarkan bentuk lesi yang ditemukan, lokasi lesi, bagian kolon atau usus halus yang terlibat serta luasnya lesi.
Melalui edoskopi juga bisa melakukan biopsi untuk mendapatkan sampel dari jaringan yang terkena, untuk evaluasi histopatologi (pemeriksaan jaringan).

PENATALAKSANAAN

Malnutrisi merupakan problem klinis yang penting pada pasien IBD. Berat badan pasien sering turun, hipoalbuminemia (kekurangan kadar protein albumin dalam darah), anemia (kurang kadar Hb/Hemoglobin darah), dan defisiensi vitamin D. Terapi nutrisi merupakan salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan IBD. Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien IBD yaitu mengobati defisiensi nutrisi dan mengurangi radang.

Defisiensi beberapa nutrien spesifik bisa diatasi dengan memberikan suplemen berupa zat besi per oral (melalui mulut) atau parenteral (melalui infus) penting diberikan pada pasien dengan perdarahan usus. Suplementasi khusus dengan kalsium, magnesium, zinc, vitamin B12, D dan K dibutuhkan bila ada manifestasi klinis/biokimiawi dari defisiensi. Makanan tertentu yang merangsang, dan yang menimbulkan keluhan atau eksaserbasi (kekambuhan) seperti nyeri perut atau diare, sebaiknya dihentikan.

Bila ada intoleransi (tak tahan) laktosa, sebaiknya menghindari susu sapi. Pasien striktur harus menghindari makanan yang tinggi serat dan residu seperti kacang-kacangan, pop corn dan sereal. Suplementasi asupan per oral dengan diet formula khusus, dapat mencegah atau memperbaiki malnutrisi. Diet formula khusus dapat diberikan per oral atau dengan pipa nasogastrik. Beberapa pasien IBD memerlukan nutrisi parenteral, misalnya pada obstruksi (sumbatan) usus halus kronik yang tidak dapat dioperasi atau pada pasien setelah (pemotongan) usus halus dalam jumlah besar.

Operasi atas indikasi yang tepat akan sangat menurunkan angka kematian karena komplikasi seperti megakolon toksik, perforasi (usus bocor), sepsis (panas tinggi karena infeksi berat yang menyebar lewat darah keseluruh tubuh) dan komplikasi akut lainnya seperti striktur dan perdarahan hebat. Operasi yang biasa dilakukan adalah proktokolektomi dan ileostomi.

Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan lamanya penyakit IBD. Terdapat 2% insiden kanker setelah 10 tahun, 9% setelah 20 tahun dan 19% setelah 30 tahun. Karena resiko berkembangnya kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan berjalannya waktu, direkomendasikan untuk melakukan proktokolektomi total untuk pasien IBD lebih dari 8 – 10 tahun.

(Sumber:Harian Suara Merdeka, Senin 17 April 2006)
(Dr. Djoko Merdikoputro, Sp.PD)

Analisis Meddia Herbal:
PENANGANAN DENGAN MEDDIA HERBAL

Terapi untuk kasus IBD dapat dilakukan dengan
menggunakan produk MEDDIA Herbal yaitu BANDRUX, jika sudah mengalami perdarahan maka ditambahkan PASCOP.



Baca Selanjutnya....

Saatnya Beralih Ke Herbal

Hidup kembali ke alam atau lebih trend dengan sebutan back to nature, kini bukan saja menjadi semboyan namun telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern yang merindukan segala sesuatu yang selaras dan seimbang dengan alam. Kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin cepat, menuntut manusia untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan yang disadari atau tidak, hal ini akan mempengaruhi keseimbangan ritme hidupnya sehingga dapat menyebabkan terganggunya kesehatan akibat dari pengaruh pola dan gaya hidup yang kurang baik.

Menurut pengobatan modern, terjadinya penyakit itu karena adanya patogen eksternal tertentu yang menyerang tubuh, dan penyakit dianggap sebagai musuh yang harus dimusnakan. Terapi yang dijalankan berupa eradikasi (pemusnahan) dengan menggunakan bahan kimia (chemical), operasi dan penyinaran (radiasi). Sedangkan menurut pengobatan tradisional, terjadinya penyakit lebih dikarenakan adanya gangguan keseimbangan dalam tubuh atau adanya defisiensi diantara berbagai macam energi internal dan metabolisme. Penyakit bukan dianggap musuh yang harus dimusnahkan, sehingga terapi yang dijalankan adalah dengan mengembalikan keseimbangan baik energi maupun metabolisme dalam tubuh dengan bahan alami.

Penyakit yang timbul belakangan ini lebih banyak disebabkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain: diabetes (kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal, dll. Sedangkan yang termasuk penyakit degeneratif antara lain adalah : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambeien/wasir) dan pikun (Lost of memory).

Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehingga jika menggunakan obat modern dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam atau obat tradisional, yang mempunyai kelebihan yaitu meskipun penggunaannya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

Dalam bidang pengobatan, pada dekade akhir abad ke 20 semangat "back to nature" mulai bergema di dunia barat (negara-negara maju) dimana masyarakat mulai sadar bahwa pengobatan modern yang umumnya menggunakan obat kimia memiliki kelemahan-kelemahan yang signifikan, dan mulai kembali pada pengobatan alami (tradisional) yang menggunakan tanaman obat (herbal) karena khasiat serta manfaatnya telah dirasakan. Obat herbal Indonesia selama ini lebih dikenal dengan nama jamu dan identik dengan serbuk yang harus diseduh.

Obat modern adalah obat yang dibuat dari bahan sintetik atau bahan alam yang diolah secara modern, digunakan serta diresepkan oleh dokter dan kalangan medis untuk mengobati penyakit tertentu. Sedangkan obat tradisional umumnya berupa herbal yang diracik dari tanaman atau tumbuhan obat, dimana sebagian besar komponen kimia dari tanaman tersebut merupakan hasil metabolit sekunder. Obat tradisional, dalam hal ini yang berbentuk jamu telah dikenal masyarakat Indonesia sejak berabad silam sebagai bagian dari usaha menjaga kesehatan, menambah kebugaran, atau meningkatkan kecantikan. Mengkonsumsi obat tradisional diyakini mengandung manfaat yang luar biasa bagi sistem metabolisme tubuh dan tidak berdampak negatif pada kesehatan, karena tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Hingga saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman. Sebagai contoh misalnya aspirin adalah analgesik paling popular yang diisolasi dari tanaman Salix dan Spiraea, vincristin obat kanker yang diisolasi dari ekstrak Tapak Dara (Catharanthus roseus). Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari 7 negara yang mempunyai keanekaragaman hayati terbesar ke dua setelah Brazil, tentu sangat potensial dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman obat kita sendiri. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologi yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit.

Obat-obatan yang berasal dari bahan kimia tetap bisa dikonsumsi selama dosis yang digunakan masih dalam batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Namun tidak dipungkiri, penggunaan obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek negative terhadap berbagai fungsi dan sistem kerja organ tubuh bila dikonsumsi dalam jangka lama.

Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan dalam menggunakan obat modern (obat kimia) diantaranya :
  1. Dapat menimbulkan efek samping, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dikarenakan sifat dari obat kimia yang berlawanan dengan tubuh. Obat kimia berasal dari senyawa anorganik yang bersifat sintetik, sedangkan kondisi tubuh kita bersifat organis dengan reaksi-reaksi kimia kompleks yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu jika obat kimia dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan terakumulasi di dalam tubuh, dan hal ini dapat mengakibatkan terganggunya fungsi dan sistem kerja organ seperti gangguan pada ginjal, gangguan fungsi hati, pada sebagian orang dapat menyebabkan timbulnya alergi karena daya tahan tubuh tiap orang tidak sama, serta berbagai gangguan lainnya.
  2. Hanya memperbaiki beberapa fungsi sistem tubuh, namun tidak memberikan kesembuhan total.
  3. Terkadang kurang efektif untuk mengobati penyakit tertentu yang belum diketahui faktor utama penyebabnya, sehingga pasien bisa minum obat dalam waktu lama tanpa mengalami perbaikan kesehatan yang signifikan.
  4. Harga obat yang tergolong mahal karena sebagian besar bahan baku dan peralatan teknologi yang digunakan masih impor, disamping fluktuasi kurs mata uang di pasar dunia.

Sedangkan pertimbangan yang dapat digunakan bagi mereka yang memilih herbal sebagai obat adalah :
  1. Faktor keamanan, karena herbal tersusun dari bahan-bahan organik dan bersifat kompleks dimana hal ini sesuai dengan kondisi tubuh maka reaksi persenyawaan yang terjadi tidak akan bertentangan. Disamping itu dapat dikonsumsi oleh seluruh keluarga dengan berbagai tingkatan usia.

  2. Efek samping relatif kecil bahkan bisa dikatakan tidak ada, karena banyaknya zat yang terkandung dalam satu tanaman, sehingga konsentrasi dari tiap zat itu relatif kecil atau dosisnya relatif kecil. Berdasarkan prinsip paracelsus; dosis sola fecit venenum, atau dosislah yang menentukan sesuatu menjadi racun, karena dosis setiap zat dalam tanaman obat relatif kecil maka umumnya tanaman obat tidak toksik.

  3. Efektif untuk mengobati penyakit yang sulit disembuhkan dengan obat kimia seperti: Kanker, Tumor, Darah Tinggi, Darah rendah, Diabetes, Hepatitis. Stroke, Sinusitis, Herpes, Bau badan dll. Dipelajari berdasarkan pengalaman emperis, secara lisan dan tulisan kemudian diteliti dari berbagai aspek seperti botani, kimiawi dan farmakologi. Pendekatan dalam penggunaan herbal lebih ditekankan pada aspek farmakologinya yaitu fungsi herbal dalam proses pengobatan.

  4. Obat herbal memiliki kemampuan memperbaiki keseluruhan sistem karena bekerja dalam lingkup sel dan molekuler. Selain itu juga memiliki kemampuan dalam memperbaiki aktivitas biomolekuler tubuh. Kemampuan ini ada karena obat herbal dapat melakukan biosintesis kombinasi dari senyawa metaboilit sekundernya.

  5. Dapat meningkatkan dan memperbaiki ekspresi gen dalam tubuh. Saat ekspresi gen meningkat dan menjadi lebih baik, hormon dan sistem imun tubuh akan bekerja lebih optimal.Harga relatif terjangkau dan dapat ditanam sendiri dengan membuat tanaman obat keluarga (TOGA).

  6. Penerapannya lebih sederhana, jika diagnosa sudah ditegakkan maka pengobatan dan perawatan dapat dilakukan oleh anggota keluarga, meski bantuan medis masih tetap bisa diperlukan ,misalnya untuk sarana laboratorium.

Disamping berbagai hal tersebut diatas, obat tradisional juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

  • Efek farmakologisnya lemah
  • Bahan baku belum terstandarisasi
  • Bersifat higroskopis serta volumines
  • Mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme.

Obat herbal diprediksi mempunyai prospek yang semakin bagus di masa mendatang, sehingga perlu upaya penyiapan strategi, penyempurnaan regulasi, penguasaan dan penerapan iptek dalam pengembangan obat alami ini. Jika ingin berkembang lebih luas dan siap bersaing dengan pasar global, maka mutu produk harus ditingkatkan karena menjadi salah satu kunci dalam persaingan pasar global. Besarnya peluang tersebut bisa membuat produksi obat herbal Indonesia menjadi salah satu sumber devisa negara.


Baca Selanjutnya....