Jamu adalah produk ramuan bahan alam asli Indonesia, yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan, kebugaran, dan kecantikan. Ramuan bahan alam ini merupakan warisan yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, yang telah memiliki pengetahuan bagaimana memanfaatkan bahan alam untuk pengobatan, pemeliharaan kesehatan dan kecantikan.
Kapan pertama kali istilah jamu digunakan oleh orang Indonesia, tidak ada data yang pasti. Menurut pakar bahasa Jawa Kuno, jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno “Jampi” atau “Usodo” yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah Jampi banyak ditemukan pada naskah kuno jaman Jawa Kuno seperti pada naskah Gatotkaca Sraya, yang digubah oleh Mpu Panuluh pada jaman Kerajaan Kediri, di masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M.
Pada jaman Jawa Baru, yaitu abad pertengahan (15-16 M), istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi yang lebih populer dan digunakan di kalangan keraton sebagai bahasa Jawa Kromo Inggil. Nama Jamu merupakan bahasa Jawa Madyo yang digunakan oleh masyarakat umum, diperkenalkan oleh dukun atau tabib-tabib pengobat tradisional.
Pengobatan menggunakan ramuan jamu sudah dimulai oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan meracik, pemeliharaan kesehatan dan minum jamu ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegalwangi, yang dibangun pada masa Kerajaaan Hindu dan Budha.
Relief pada candi Borobudur, yang didirikan pada tahun 772 M, menggambarkan perawatan kesehatan bagian luar tubuh dengan pemijatan dan penggunaan ramuan jamu dan dalam tubuh dengan minum jamu.
Bukti sejarah lainnya adalah Prasasti “Madhawapura” peninggalan kerajaan Hindu Majapahit, abad 13 M, yang menyebutkan adanya profesi peracik jamu yang disebut “Acaraki”.
Budaya menulis sudah dimulai abad ke 5 M, yang ditandai dengan ditemukannya parasasti 7 yupa di Kalimantan Timur, yang bertuliskan huruf Palawa dengan bahasa Sansekerta. Tetapi bukti tertulis tertua mengenai penggunaan jamu dalam pengobatan ditemukan pada daun lontar di Bali yaitu USADA Lontar, ditulis antara tahun 991-1016 M menggunakan bahasa Jawa kuno, Sansekerta, dan bahasa Bali.
Bukti tertulis mengenai ramuan jamu ditulis setelah abad pertengahan (15-16 M), antara lain Serat Centhini, yang ditulis tahun 1814 M; dan “Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi” atau " Tulisan Pengetahuan tentang Jamu Jawa", yang ditulis tahun 1858 memuat sebanyak 1734 ramuan jamu.
Catatan yang memuat istilah jamu ditemukan pada “Serat Parimbon djampi ingkang sampoen kangge ing salami-laminipoen” tahun 1875 M dan BUKU RESEP, ditulis dalam bahasa Melayu memuat banyak istilah jamu. Buku ini merupakan kumpulan resep obat-obatan dan pengobatan tradisional, yang masuk ke dalam koleksi Museum van het Bataviaasch Genoootscha van Kustenen Wetenschappen pada tahun 1909 M.
Di jaman kolonial, beberapa pustaka juga menyebutkan berbagai jenis tanaman di nusantara yang berkhasiat obat. Yacobus Bontius, seorang petualang Portugis, orang eropa pertama yang menerbitkan buku yang memuat jenis-jenis tanaman obat dan kegunaannya, yang ditulis dalam bukunya berjudul “Historia Naturalist et Medica Indiae” pada tahu 1627. Bontius juga merupakan orang pertama yang menulis tentang tumbuhan obat di Jawa tahun 1658 M.
Gregorius Rumphius-seorang ahli botani yang tinggal di Maluku menulis tumbuhan dan hewan yang ada di Maluku, karyanya ditulis dalam buku “Amboinish Kruidboek”. Buku Rumphius lainnya berjudul “Herbarium Amboinense”, merupakan catatan tentang pemanfaatan tumbuhan untuk pemeliharaan kesehaan dan pengobatan, yang ditulis sekitar tahun 1741-1755 M. Monograf tumbuhan obat di Jawa, oleh Horsfield, tahun 1816, Tumbuhan yang beracun dan bermanfaat sebagai obat, oleh Greshoff’s , tahun 1890-1914 M, “Het javaanese receptenboek” (buku resep pengobatan Jawa kuno) oleh Van Hien, tahun 1872. “Indische Planten en haar Geneeskracht” (Tumbuhan Asli dan Kekuatan Penyembuhannya) oleh Kloppenburg-Versteegh, tahun 1907. Publikasi-publikasi tersebut umumnya memuat manfaat setiap jenis tanaman atau berupa ramuan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pada masa itu. Publikasi tersebut berperan cukup besar dalam perkembangan pengetahuan jamu di Indonesia.
Jamu yang dulunya hanya digunakan oleh kalangan terbatas, kini dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Industri jamu sekala rumah tangga di Indonesia dimulai sejak 200 tahun yang lalu, dirintis oleh Ny. Item dan Ny. Kembar di Ambarawa, Jawa Tengah pada tahun 1825.
Kemudian, di awal 1900 beberapa industri jamu bermunculan, dan bertahan hingga sekarang. Banyak industri jamu yang telah menggunakan teknologi terbaru baik dalam pengolahan, pengemasan, pemasaran dan pengujian secara medis yang lebih terjamin.
Produk jamu yang dulunya identik dengan pengolahan secara sederhana, kini telah diproses secara modern, mekanis dengan pengolahan yang higienis. Berdasarkan produknya, jamu dikelompokkan menjadi obat (jamu) tradisional, obat tradisional terstandar dan fitofarmaka.
Berkat adanya industri-industri jamu ini, jamu menjadi mudah diperoleh di seluruh pelosok negeri, bahkan sampai diekspor ke mancanegara, dan penggunaan jamu menjadi sangat luas, yaitu sebagai pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, kebugaran, relaksasi dan kecantikan.
Pengguna jamu bukan hanya masyarakat di pedesaan saja, tetapi juga masyarakat modern yang tingal di kota-kota besar. Saat ini, diperkirakan 80% penduduk Indonesia pernah menggunakan Jamu. Bahkan banyak produk jamu Indonesia yang manfaatnya sudah diakui oleh para pakar kesehatan internasional.
Bertitik tolak dari bukti-bukti sejarah penggunaan tanaman obat di atas, dan eratnya penggunaan tanaman obat dalam kehidupan sehari-hari, jamu sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia, sehingga jamu telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia, dan memang tepat bila JAMU ADALAH BRAND INDONESIA.
(Sumber: http://balitro.litbang.deptan.go.id; trubus info kit vol. 08)
Baca Selanjutnya....