Tampilkan postingan dengan label Gangguan Pencernaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gangguan Pencernaan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Januari 2012

Musim Pancaroba Diare Mengintai

Diare adalah penyakit, bukan kondisi dimana perut bisa terkuras dari racun.

Cuaca yang tidak menentu, atau musim pacaroba seperti sekarang ini, dapat mengundang banyak penyakit, diantaranya diare. Dr. H. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, MMB dari Departemen Ilmu Penyaki Dalam FKUI-RSCM menyatakan, “Tubuh dipaksa beradaptasi dengan cuaca yang ekstrim. Kalau sistem imun tubuh tidak kuat, jadi gampang sakit terutama bagi anak dan orangtua.”

Faktor lingkungan ikut berperan. Debu membawa polutan atau hujan yang menimbulkan banjir, membuat lingkungan kotor dan kuman merajalela. Menurut WHO, diare membunuh dua juta anak didunia setahun. Badan Kesahatan Amerika Serikat mencatat, 100 juta orang menderita diare akut/ tahun. Setengah penderita diare mengurangi aktifitas, 10% ke dokter, 250.000 dirawat dan 3000 meninggal.

Disebut diare ketika feses (tinja) encer seperti bubur, dan frekuensi BAB (buang air besar) lebih 3x sehari. Badan lemah, lesu, muntah, tidak nafsu makan dan feses berdarah dan / berlendir. Menurut dr.Ari, masyarakat banyak yang salah persepsi entang diare. “Diare dianggap tidak masalah, karena mencuci perut, mengeluarkan racun dan bikin kebal penyakit. Diare itu penyakit, karena ada kuman yang masuk.”
Diare bisa menyebabkan kehilangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit (misal natrium dan kalium). Dehidrasi ringan menyebabkan bibir kering. Dehidrasi sedang menyebabkan kulit keriput, mata dan ubun-ubun cekung (pada bayi >18 bulan). Dehidrasi berat bisa mengakibatkan fatal, seperti syok. Pada bayi bahkan bisa terjadi gangguan irama jantung atau pendarahan otak.

Penyebab diare adalah rotavirus, beberapa bakteri seperti E.coli, Shigella sp, Salmonella sp, atau Strepcoccus. Juga parasit seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli. Stres dan alergi makanan juga memicu diare.

Kuman paling gampang menginfeksi lewat makanan. Jika diare terjadi antara 1-6 jam, biasanya gejala yang timbuldisertai mual dan muntah. Jika 8-16 jam ,bisa disertai keram perut dan muntah. Dan jika lebih dari 16 jam, diare bisa disertai darah dan demam menggigil sampai pingsan.

Menurut dr. Ari, inti pengobatan diare adalah memberikan ciran untuk menghindari dehidrasi. “Yang penting, cukup minum yang mengandung elektrolit (natrium, kalium) dna kalori. Selain Oralit, bisa air putih dicampur gula dan garam,” katanya.
Untuk menilai kondisi dehidrasi pada anak, ada 4 parameter yang bisa digunakan: aktivitas, rasa haus, kelopak mata, buang air kecil, dan uji turgor atau uji cubit. Lihat kelopak mata anak, cekung atau tidak. Anak harus kencing dalam 6-8 jam, jika lebih dari 8 jam tidak kencing berarti dehidrasi ringan. Utuk anak yang lebh besar batas kencingya 12 jam. Uji cubit paling gampang, dilakukan pada kulit perut, kulit harus kembali dalam 2 detik.

Obat diare ada 3 (tiga) kategori. Yang pertama, kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare (bakteri, parasit). Kedua, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare. Terakhir , spasmolitik (membantu menghilangkan kejang perut). Antibiotik diberikan ketika ada infeksi lanjutan, dan harus dengan resep dokter.

Bagi yang ingin mengatasi masalah diare dengan herbal, produk PT. Meddia yang bisa digunakan adalah Canbat, Bandrux atau Kiwa.

(sumber: otc digest/edisi 57/1 mei 2011)
Baca Selanjutnya....

Jumat, 26 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (3)

IBD dan Risiko Kanker Kolon

Penderita IBD bisa berisiko terkena kanker kolon. Bagaimana mencegahnya?

Ada kaitan antara IBD (inflammation bowel disease) dengan peningkatan risiko kanker kolorektal (kolon/usus besar dan rektum/anus). Dr. dr. Murdani Abdullah dari FKUI/RSCM menyatakan, “Kanker Kolon merupaka penyakit yang berdiri sendiri. Namun lebih banyak ditemukan pada penderita IBD.” Sebuah studi menyebutkan, pasien IBD berisiko 5x lebih tinggi terhadap kanker kolorektal dibandingkan orang biasa.

Bisa dikatakan, IBD adalah faktor risiko kanker kolorektal. Atau, kanker kolorektal bisa merupakan komplikasi dari IBD. Hal senada disampaikan dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, Ketua Advokasi PAPDI – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, “Kolitis ulseratif bisa menjadi ganas (kanker) jika tidak ditangani dengan baik. Tapi perjalanannya panjang, bisa puluhan tahun.” Sekitar 5 – 8% pasien KU (kolitis ulseratif) akan menderita kanker kolorektal dalam 20 tahun setelah mereka didiagnosa KU. Penyakit yang aktif maupun yang dalam kondisi remisi, sama berisiko terhadap kanker kolorektal.
Hingga saat ini, belum ada dasar genetik yang diidentifikasi untuk menjelaskan kecenderungan kanker pada IBD. Diduga, inflamasi (peradangan) kroniklah yang menyebabkan kanker karena daerah yang meradang dapat meningkatkan perkembangan sel-sel abnormal, yang akhirnya meningkatkan sel-sel kanker.

Ini didukung oleh fakta bahwa risiko kanker meningkat dengan makin lamanya durasi KU; besarnya daerah yang terserang KU; munculnya peradangan lain dalam waktu yang bersamaan. Hubungan antara inflamasi dengan kanker kolon perlu dicermati, karena 51% lebih kanker kolorektal di Indonesia terjadi di usia < 50 tahun, sementara di negara maju kanker kolorektal banyak terjadi pada rerata usia 67 tahun. Melalui penelitiannya, Dr. dr. Murdani menduga, hal ini berkaitan erat dengan proses inflamasi, meski penyebab inflamasi masih perlu diteliti lebih lanjut.

Mengurangi Risiko Kanker
Meningkatnya risiko kanker kolorektal pada pasien IBD, bukan berarti semua pasien IBD akan menderita kanker kolorektal. Yang penting, lakukan skrining dengan kolonoskopi sebagai pencegahan. Jika ditemukan perkembangan sel-sel tidak normal atau sel kanker, bisa segera diambil tindakan sehingga perkembangan kanker bisa dicegah. Diskusikan dengan dokter, apakah perlu melakukan kolonoskopi tiap 1 – 2 tahun.

Literatur menyebutkan, pasien dengan IBD remisi berisiko sama besar dengan pasien IBD aktif terhadap kanker kolorektal. Ini mungkin karena inflamasi yang terjadi pada IBD, meski tentu saja, Inflamasi jauh lebih tinggi pada IBD aktif. Pasien perlu mengkonsumsi obat antiinflamasi yang dapat mencegah berkembangnya kanker kolorektal pada pasien IBD, misalnya obat 5-aminosalicylic acid (5-ASA) mesalazine.

Dukung dengan memperbaiki pola makan. Kurangi konsumsi makanan yang bisa memicu inflamasi di saluran cerna dan membuat IBD kambuh: lemak, daging merah, gula, alkohol, dan sebisa mungkin hindari rokok. Jangan lupa olahraga rutin.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)
Baca Selanjutnya....

Kamis, 11 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (2)

Makanan
FAKTOR RISIKO IBD

Makanan tertentu dapat meningkatkan risiko IBD. Makanan yang mana dan seperti apa?

Penyebab penyakit IBD (inflammation bowel disease) belum diketahui pasti. Beberapa faktor dianggap saling berkaitan, salah satunya makanan. “Makanan tertentu dapat memperlambat remisi dan kadang menginduksi (memicu) munculnya IBD,” ujar DR. dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Makanan tidak secara langsung menyebabkan IBD. Namun, makanan tertentu dan pola makan dapat memperburuk gejala IBD, dan berhubungan dengan peningkatan risiko IBD. Misalnya pola makan kebarat-baratan yang tinggi lemak, gula dan alkohol. Makanan ini dapat memicu pertumbuhan jamur dan/atau bakteri patogen.
dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD-KGEH, Ketua Advokasi PB PAPDI-Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, menyatakan, “Makanan berlemak amat berpengaruh.” Bisa jadi, karena terjadi peningkatan peradangan yang disebabkan lemak omega-6 yang utamanya terdapat pada lemah hewani dan lemak tumbuhan tertentu (minyak jagung, biji bunga matahari). Selain itu, makanan berlemak dan berminyak mungkin tidak dapat dicerna sepenuhnya, sehingga dapat menimbulkan gas dan diare.

Sebuah studi membandingkan perbedaan pola makan masyarakat Jepang dari tahun 1966 – 1985. Ketika insiden penyakit Crohn dan asupan makanan sehari-hari ditelaah, terlihat bahwa protein hewani muncul sebagai faktor risiko independen yang paling kuat. Protein hewani terutama daging merah, berkontribusi meningkatkan jumlah toksin hydrogen sulfide di kolon, yang dapat meningkatkan aktivitas penyakit pada kolitis ulseratif (KU). Hydrogen sulfide juga dapat mengganggu kerja butyrate, molekul antiradang di kolon. Konsumsi daging merah dan daging yang diproses, meningkatkan kemungkinan kambuh > 5 kali.

Makanan lain yang bisa mengiritasi yakni makanan pedas. Juga produk susu tinggi laktosa, bagi mereka yang memiliki intoleransi atau sensitif terhadap laktosa. Intoleransi dan alergi makanan, terkait erat dengan IBD. Sebuah literatur menyebutkan, alergi makanan berperan 66% dalam kasus KU. Ada kasus, seorang bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan gejala kuat terhadap kolitis. Setelah sang ibu berhenti mengkonsumsi susu dan produk susu sapi, gejala yang dialami sang bayi hilang.

Belum ada penelitian yang menyatakan secara pasti bahwa makanan memicu IBD. Makanan ‘hanya’ merupakan satu faktor risiko. Tak ada salahnya memperhatikan pola makan dan mengurangi konsumsi makanan yang meningkatkan risiko penyakit, apalagi jika ada riwayat IBD dalam keluarga.

Gula Tak Selalu Manis

Ada hubungan antara IBD dengan pola makan tinggi gula. Gula dan karbohidrat sederhana dapat menciptakan kondisi sangat asam pada usus bagian bawah, sehingga mengganggu ekosistem bakteri yang normal. Ini lingkungan yang baik untuk pertumbuhan Candida atau jamur.

Gula juga mengiritasi permukaan membran mukus saluran cerna dan mengganggu fungsi sel darah putih (phagocytes). Penelitian menunjukkan, pasien IBD mengkonsumsi gula dan makanan manis lebih banyak dari kelompok kontrol. Dampaknya tidak terlalu terasa, namun mengintai dalam jangka panjang.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)






Baca Selanjutnya....

Jumat, 01 Juli 2011

7 Makanan Penyebab Sakit Maag

Gangguan pada lambung sering disebabkan oleh tingginya kadar asam di lambung. Selain karena terlambat makan ataupun stres, yang juga turut memengaruhi naiknya kadar asam lambung adalah jenis makanan yang masuk ke dalamnya. Masalahnya, menurut Jamie Koufman, MD, dan Jordan Stern, MD, penulis buku In Dropping Acid: The Reflux Diet Cookbook & Cure, jenis makanan yang berpotensi meningkatkan asam lambung justru banyak terdapat dalam menu harian kita. Inilah tujuh jenis makanan yang disarankan kedua ahli Otolaryngology dari New York untuk dikurangi konsumsinya:

1. Cokelat
Kandungan kakao, kafein, dan stimulan lain, seperti theobromine, dapat menyebabkan kadar asam di lambung meningkat. Selain itu, cokelat juga banyak mengandung lemak, sementara lemak juga dapat berpengaruh pada asam lambung.

2. Minuman bersoda
Minuman yang mengandung soda atau berkarbonasi adalah salah satu penyebab utama gangguan pada lambung. Pasalnya, minuman jenis ini sifatnya sangat asam, ditambah lagi dengan efek karbonasi yang bisa membuat perut jadi kembung sehingga dapat membuat kondisi jadi makin tidak nyaman.

3. Makanan yang digoreng
Suka makan gorengan? Sebaiknya Anda tahu bahwa makanan ini juga bisa berpengaruh pada asam lambung karena kandungan lemaknya yang tinggi. Selain itu, hobi makan gorengan juga kerap menimbulkan gangguan heartburn, yaitu rasa nyeri terdapat di ulu hati.

4. Minuman beralkohol
Konsumsi bir, minuman keras, dan wine dapat berpengaruh terhadap naiknya asam lambung. Ada beberapa jenis minuman alkohol yang sifatnya memang tidak terlalu asam, tetapi para ahli menyatakan bahwa alkohol dapat melemaskan saluran di bagian bawah esofagus (yang berhubungan dengan area perut), dan ini dapat menyebabkan naiknya asam lambung.


5. Produk olahan susu yang tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dapat meningkatkan kadar asam lambung. Sementara, produk olahan susu sendiri sebenarnya sudah bersifat asam. Jadi, ada baiknya Anda mulai berhenti mengonsumsi mentega atau susu yang tinggi lemak apabila sering mengalami gangguan lambung. Atau setidaknya, beralihlah ke yang tanpa lemak.

6. Daging yang berlemak
Selain kandungan lemaknya yang tinggi, daging sapi, kambing, ataupun domba dapat bertahan lama di dalam perut serta meningkatkan kemungkinan naiknya asam lambung. Oleh karenanya, lebih baik Anda kurangi konsumsinya hingga hanya seminggu sekali. Beralihlah juga ke pilihan daging yang tanpa lemak.

7. Kafein
Kebiasaan minum kopi yang berlebihan setiap harinya dapat berkontribusi terhadap gangguan lambung. Untuk itu, ada baiknya Anda mengurangi konsumsi kopi, atau beralih ke teh.

(Sumber: http://female.kompas.com/read/2011/06/24/11353837/7.Makanan.Penyebab.Sakit.Maag)

Baca Selanjutnya....

Selasa, 21 Juli 2009

Dyspepsia (Gangguan Pencernaan) & Herbal

Definisi Dyspepsia

Dyspepsia (atau, seperti yang seringkali dirujuk oleh dokter, non-ulcer dyspepsia atau dyspepsia tidak berborok) adalah satu dari penyakit-penyakit (ringan) yang paling umum dari usus-usus, mempengaruhi suatu perkiraan dari 20% dari orang-orang di Amerika. Mungkin hanya 10% dari mereka yang terpengaruh sebenarnya mencari perhatian medis untuk dyspepsia mereka. Dyspepsia bukanlah suatu istilah yang terlalu baik untuk penyakit ringan karena ia menyiratkan bahwa ada "dyspepsia" atau pencernaan makanan yang abnormal, dan ini kemungkinan besar adalah bukan kasusnya. Sesungguhnya, nama umum lain untuk dyspepsia adalah gangguan pencernaan (indigestion), yang, untuk sebab yang sama, adalah tidak lebih baik daripada istilah dyspepsia!

Dyspepsia digambarkan paling baik sebagai suatu penyakit fungsional. Adakalanya ia disebut dyspepsia fungsional. Konsep dari penyakit fungsional terutama bermanfaat ketika mendiskusikan penyakit-penyakit saluran pencernaan. Konsep berlaku pada organ-organ berotot dari saluran pencernaan - kerongkongan (esophagus), lambung, usus kecil, kantong empedu, dan kolon (usus besar). Apa yang diartikan oleh istilah, fungsional, adalah bahwa salah satu dari keduanya yaitu otot-otot dari organ-organ atau syaraf-syaraf yang mengontrol organ-organ tidak bekerja secara normal, dan, sebagai akibatnya, organ-organ tidak berfungsi secara normal. Syaraf-syaraf yang mengontrol organ-organ termasuk tidak hanya syaraf-syaraf yang terletak didalam otot-otot dari organ-organ namun juga syaraf-syaraf dari sumsum tulang belakang (spinal cord) dan otak.

Beberapa penyakit-penyakit saluran pencernaan dapat dilihat dan didiagnosis dengan mata telanjang, seperti borok-borok (ulcers) dari lambung. Jadi, borok-borok dapat dilihat waktu operasi, pada x-rays, dan pada endoskopi-endoskopi. Penyakit-penyakit lain tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun dapat dilihat dan didiagnosis dibawah mikroskop. Contohnya, gastritis (peradangan lambung) didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskop dari biosi-biopsi dari lambung. Berlawanan dengannya, penyakit-penyakit fungsional pencernaan (gastrointestinal) tidak dapat dilihat dengan mata telanjang atau dengan mikroskop. Pada beberapa kejadian-kejadian, fungsi yang abnormal dapat ditunjukkan dengan tes-tes (contohnya, studi-studi pengosongan lambung atau studi-studi antro-duodenal motility). Bagaimanapun, tes-tes seringkali adalah kompleks, dan tidak tersedia secara luas, dan tidak secara dipercaya mendeteksi kelainan-kelainan fungsional. Sesuai dengan itu, dan and by default, penyakit-penyakit fungsional pencernaan adalah yang melibatkan fungsi yang abnormal dari organ-organ pencernaan dimana kelainan-kelainan tidak dapat dilihat pada organ-organ dengan mata telanjang atau mikroskop.

Adakalanya, penyakit-penyakit yang diperkirakan adalah fungsional akhirnya ditemukan berhubungan dengan kelainan-kelainan yang dapat dilihat. Kemudian, penyakit keluar dari katagori fungsional. Suatu contoh dari ini adalah infeksi Helicobacter pylori dari lambung. Beberapa pasien-pasien dengan gejala-gejala pencernaan bagian atas yang ringan yang diperkirakan mempunyai fungsi abnormal dari lambung ata usus telah ditemukan mempunyai lambung-lambung yang terinfeksi dengan Helicobacter pylori. Infeksi ini dapat didiagnosis dibawah mikroskop dengan mengidentifikasi bakteri. Ketika pasien-pasien dirawat dengan antibiotik-antibiotik, Helicobacter dan gejala-gejala hilang. Jadi, pengakuan infeksi-infeksi dengan Helicobacter pylori telah mengeluarkan beberapa penyakit-penyakit pasien dari katagori fungsional.

Perbedaan antara penyakit fungsional dan penyakit bukan fungsional mungkin sesungguhnya adalah kabur. Jadi, bahkan penyakit-penyakit fungsional mempunyai kelainan-kelainan biokimia atau molekul yang berkaitan yang akhirnya akan mampu diukur. Contohnya, penyakit-penyakit fungsional dari lambung dan usus kecil mungkin dapat ditunjukan akhirnya berkaitan dengan tingkat-tingkat bahan-bahan kimia normal yang meningkat atau berkurang didalam organ-organ pencernaan, sumsum tulang belakang, atau otak. Haruskah suatu penyakit yang ditunjukan disebabkan oleh suatu pengurangan atau peningkatan bahan kimia tetap dipertimbangkan sebagai suatu penyakit fungsional? Saya rasa tidak. Pada situasi teoritis ini, kita tidak dapat melihat kelainan dengan mata telanjang atau mikroskop, namun kita dapat mengukurnya. Jika kita dapat mengukur suatu kelainan yang berkaitan atau yang menyebabkannya, penyakit mungkin seharusnya tidak lagi dipertimbangkan sebagai fungsional.
Meskipun ada kekurangan-kekurangan dari istilah, fungsional, konsep dari suatu kelainan fungsional adalah bermanfaat untuk pendekatan banyak dari gejala-gejala yang berasal dari organ-organ saluran pencernaan yang berotot. Untuk mengulangi, konsep ini berlaku pada gejala-gejala yang mana tidak ada kelainan-kelainan yang berkaitan yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau mikroskop.

Ketika dyspepsia adalah suatu penyakit fungsional utama, adalah penting untuk menyebutkan beberapa penyakit-penyakit fungsional lain. Suatu penyakit fungsional utama kedua adalah sindrom iritasi usus (irritable bowel syndrome atau IBS). Gejala-gejala dari IBS diperkirakan berasal terutama dari usus kecil dan kolon (usus besar). Gejala-gejala dari IBS termasuk nyeri perut yang disertai dengan pergantian-pergantian dalam gerakan-gerakan usus (pembuangan air besar), terutama sembelit atau diare. Sesungguhnya, dyspepsia dan IBS mungkin adalah penyakit-penyakit yang saling tumpang tindih karena sampai dengan separuh pasien-pasien dengan IBS juga mempunyai gejala-gejala dari dyspepsia. Suatu kelainan fungsional ketiga yang jelas adalah nyeri dada non-cardiac. Nyeri ini mungkin meniru nyeri dada (angina), namun ia tidak berkaitan dengan penyakit jantung. Sesungguhnya, nyeri dada non-cardiac diperkirakan berakibat dari suatu kelainan fungsional dari kerongkongan (esophagus).


Kelainan-kelainan fungsional dari saluran pencernaan seringkali dikategorikan oleh organ yang terlibat. Jadi, ada kelainan-kelainan fungsional dari kerongkongan (esophagus), lambung, usus kecil, usus besar (kolon), dan kantong empedu. Jumlah penelitian yang telah dilakukan dengan kelainan-kelainan fungsonal adalah yang paling besar pada kerongkongan (esophagus) dan lambung (contohnya, nyeri dada non-cardiac, dyspepsia), mungkin karena organ-organ ini lebih mudah dicapai dan dipelajari. Penelitian kedalam kelainan-kelainan fungsional yang mempengaruhi usus kecil dan kolon (IBS) adalah lebih sulit untuk dilaksanakan dan ada lebih sedikit persetujuan diantara studi-studi penelitian. Ini mungkin adalah suatu refleksi dari keruwetan (kompleksitas) dari aktivitas-aktivitas usus kecil dan kolon dan kesulitan dalam mempelajari aktivitas-aktivitas ini. Penyakit-penyakit fungsional dari kantong empedu (dirujuk sebagai biliary dyskinesia), seperti yang dari usus kecil dan usus besar (kolon), juga adalah sulit untuk dipelajari dan pada saat ini mereka lebih kurang baik terdefinisi. Setiap dari penyakit-penyakit fungsional dikaitkan dengan kumpulan (set) gejala-gejala karakteristiknya sendiri.


Gejala-Gejala Dyspepsia


Kita biasanya berpikir gejala-gejala Dyspepsia berasal dari
kita biasanya berpikir gejala-gejala dyspepsia sebagai berasal dari saluran pencernaan bagian atas, terutama lambung dan bagian pertama dari usus kecil. gejala-gejala ini termasuk nyeri perut bagian atas (diatas pusar), bersendawa, mual (dengan atau tanpa muntah), kembung perut (perasaan perut yang penuh tanpa penggelembungan yang obyektif), cepat kenyang (perasaan kenyang setelah suatu jumlah makan yang sangat kecil), dan, mungkin, penggelembungan perut (pembengkakan). gejala-gejala kebanyakan dibangkitkan (diprovokasi) oleh makan, yang adalah suatu waktu ketika banyak fungsi-fungsi pencernaan yang berbeda dipanggil untuk bekerja dalam konser.

Adalah tepat untuk mendiskusikan bersendawa dalam detil karena ia adalah suatu gejala yang umumnya disalahartikan yang berkaitan dengan dyspepsia. kemampuan untuk bersendawa adalah hampir sedunia (universal). bersendawa adalah aksi mengeluarkan gas dari lambung melalui mulut. penyebab umum dari bersendawa adalah suatu penggelembungan perut yang disebabkan oleh udara atau gas yang tertelan. penggelembungan dari lambung menyebabkan ketidakenakan perut, dan bersendawa mengeluarkan udara dan menghilangkan ketidakenakan. sebab-sebab yang umum dari penelanan jumlah-jumlah yang besar dari udara (aerophagia) atau gas adalah menelan makanan atau minuman terlalu cepat, ketakutan, dan minuman-minuman bersoda (berkarbonat). orang-orang seringkali tidak sadar bahwa mereka menelan udara. lebih dari itu, jika tidak ada kelebihan udara didalam lambung, aksi bersendawa sebenarnya mungkin menyebabkan lebih banyak udara yang ditelan. "bersendawa" bayi-bayi sewaktu menyusu dari botol atau dari ibunya adalah penting dalam rangka mengeluarkan udara didalam lambung yang telah tertelan dengan susu.

Udara yang berlebihan didalam lambung adalah bukan penyebab satu-satunya dari bersendawa. Untuk beberapa orang-orang, bersendawa menjadi suatu kebiasaan dan tidak mencerminkan jumlah udara didalam lambung-lambung mereka. Untuk yang lain-lainnya, bersendawa adalah suatu respon pada segala tipe dari ketidakenakan perut dan tidak hanya pada ketidakenakan yang disebabkan oleh gas yang meningkat. Setiap orang mengetahui bahwa ketika mereka mempunyai ketidakenakan perut yang ringan, bersendawa seringkali menghilangkan persoalan. Ini karena kelebihan udara didalam lambung seringkali adalah penyebab ketidakenakan perut yang ringan. Sebagai akibatnya, orang-orang bersendawa kapan saja ketidakenakan perut yang ringan dirasakan - apapun penyebabnya.


Jika persoalan yang menyebabkan ketidakenakan adalah bukan kelebihan udara, maka bersendawa tidak menyediakan keringanan (pembebasan). Seperti disebutkan sebelumnya, ia bahkan membuat situasi lebih buruk dengan meningkatkan udara didalam lambung. Ketika bersendawa tidak meringankan atau mengurangi ketidakenakan, bersendawa harus dipandang sebagai suatu tanda bahwa mungkin ada sesuatu yang salah didalam perut dan bahwa penyebab dari ketidakenakan harus dicari. Bersendawa sendiri, bagaimanapun, tidak membantu dokter menentukan apa yang mungkin salah karena bersendawa dapat terjadi pada hampir segala penyakit atau kondisi perut yang menyebabkan ketidakenakan.


PENANGANAN DENGAN HERBAL

Dyspepsia (gangguan pencernaan) sangat cepat diatasi dengan produk KIWA. Fungsi lain dari KIWA adalah mengatasi masalah semua saluran cerna, mulai dari tenggorokan hingga rektum (saluran sekresi). Kemanfaatan KIWA lainnya diantaranya melancarkan air seni, bahkan bila dikombinasi dengan BANDRUX mampu mengobati gagal ginjal.
Baca Selanjutnya....

Sabtu, 21 Februari 2009

Radang Usus (Colitis Ulseratif) Bisa Menjadi Kanker

DINFLAMATORY Bowel Disease (IBD) adalah penyakit organik saluran cerna bagian bawah, yang manifestasinya berupa peradangan yang bukan akibat infeksi dan berlangsung kronik. Penyakit ini selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak mudah mendiagnosis penyakit ini. Tidak ada gambaran klinis khas, gambaran endoskopik (pemeriksaan teropong usus) tidak spesifik, begitu juga gambaran histopatologiknya (pemeriksaan jaringan).

IBD terbagi atas 2 macam yaitu colitis ulseratif dan penyakit Crohn. Banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin berat. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan insiden IBD masih rendah namun cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati bisa berkembang menjadi kanker kolon yang dapat merenggut nyawa.

Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien IBD di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Diduga peningkatan ini ada hubungan dengan membaiknya sanitasi dan meningkatnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan hampir 20% kasus IBD dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insidens colitis ulseratif 6,8% dan penyakit Crohn 5,5%.

MANIFESTASI KLINIK
Secara umum penyakit pasien datang dengan keluhan demam, nyeri perut, diare, berat badan turun, malnutrisi dan perdarahan per anus. Perbedaan penyakit Crohn dan Kolitis ulseratif didasarkan pada gambaran klinik yang berbeda pada kedua kelompok penyakit ini.

Pasien dengan penyakit Crohn biasanya datang dengan keluhan awal adanya fistula (lubang tembus) pada anus, selain itu ditemukan massa pada perut. Dilihat dari lokasi yang terkena, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon (usus besar), sedang penyakit
Crohn dapat mengenai kolon dan usus halus terutama ileum (bagian akhir dari usus halus) dan lambung.

Dari sudut komplikasi yang terjadi, pada kolitis ulseratif kemungkinan menjadi kanker lebih besar dibandingkan pada penyakit
Crohn. Komplikasi berupa penyempitan umum dijumpai pada penyakit Crohn, sedang pada kolitis ulseratif tidak.

FAKTOR RESIKO

Meski patogenesis IBD sangat kompleks dan multifaktorial, tapi diyakini disebabkan hasil interaksi antara lingkungan, genetik, mikroba dan faktor imunitas. Hubungan merokok dengan penyakit
Crohn serta hubungan tidak merokok dengan kolitis ulseratif telah diketahui, meski mekanismenya belum jelas. Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian nikotin pada pengobatan kolitis ulseratif. Perubahan lingkungan, seperti perumahan yang lebih bersih, nutrisi yang baik, higienitas yang lebih baik serta penggunaan antibiotik yang luas telah menyebabkan penurunan prevalensi penyakit infeksi.

Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit alergi dan penyakit autoimun, termasuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (obat anti radang) dan tindakan appendectomy (operasi usus buntu) dini, menyebabkan gangguan barrier usus yang menyebabkan penurunan insidens kolitis ulseratif. Berbagai penelitian menunjukkan, risiko absolut IBD mencapai 7% diantara anggota keluarga tingkat pertama. Risiko mengalami IBD pada orang tua/saudara kandung adalah 8,9% untuk anak, 8,8% untuk saudara dan 3,5% untuk orang tua.

Berbagai pengamatan menunjukkan faktor genetik berkontribusi pada kerentanan individu terhadap IBD, yang menyebabkan variasi dalam insidens dan prevalensi penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif pada berbagai populasi. Kemungkinan IBD disebabkan oleh infeksi kuman belum bisa sepenuhnya disingkirkan. Lesi IBD lebih sering muncul di lokasi dengan densitas bakteri yang padat, seperti di valvula ileosekal (katup yang menghubungkan usus halus dan usus besar) dan kolon.

Imunoregulasi dalam usus merupakan hal yang sangat kompleks dalam patofisiologi jenis IBD, seperti kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn yang menimbulkan profil imunologis yang berbeda. Ini berakibat pada pengobatan yang semestinya diberikan sesuai dengan patogenesis masing-masing IBD.

DIAGNOSIS

Tidak adanya gambaran klinis yang khas pada IBD menyulitkan untuk didiagnosis. Gejala klinis penyakit ini adalah nyeri dan kejang perut, diare kronis bercampur darah, suhu badan meninggi, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan anemia (kurang darah) akibat kehilangan darah yang kronis.

Peranan pemerikasaan radiologi penting untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (zat kontras yang dimasukkan melalui anus), masih merupakan pemeriksaan utama pada kasus-kasus penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium enema memberi gambaran pasti untuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn.

Pada penyakit
Crohn, awalnya akan terlihat penebalan pada dinding usus halus pada bagian distal (bagian akhir) dan kolon. Secara khas penebalan usus bisa mencapai 5 – 15 mm. Pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mendeteksi adanya edema (pembengkakan karena terisi cairan) mesenterium, fistula, abses dan pembesaran kelenjar getah bening. Endoskopi memegang peranan penting, bukan saja untuk melakukan diagnosis, tetapi juga tatalaksana dan pengawasan untuk penyakit IBD. Endoskopi dapat menyingkirkan kemungkinan lain dari IBD seperti keganasan atau TBC usus. Pemeriksaan endoskopi dapat membedakan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif didasarkan bentuk lesi yang ditemukan, lokasi lesi, bagian kolon atau usus halus yang terlibat serta luasnya lesi.
Melalui edoskopi juga bisa melakukan biopsi untuk mendapatkan sampel dari jaringan yang terkena, untuk evaluasi histopatologi (pemeriksaan jaringan).

PENATALAKSANAAN

Malnutrisi merupakan problem klinis yang penting pada pasien IBD. Berat badan pasien sering turun, hipoalbuminemia (kekurangan kadar protein albumin dalam darah), anemia (kurang kadar Hb/Hemoglobin darah), dan defisiensi vitamin D. Terapi nutrisi merupakan salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan IBD. Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien IBD yaitu mengobati defisiensi nutrisi dan mengurangi radang.

Defisiensi beberapa nutrien spesifik bisa diatasi dengan memberikan suplemen berupa zat besi per oral (melalui mulut) atau parenteral (melalui infus) penting diberikan pada pasien dengan perdarahan usus. Suplementasi khusus dengan kalsium, magnesium, zinc, vitamin B12, D dan K dibutuhkan bila ada manifestasi klinis/biokimiawi dari defisiensi. Makanan tertentu yang merangsang, dan yang menimbulkan keluhan atau eksaserbasi (kekambuhan) seperti nyeri perut atau diare, sebaiknya dihentikan.

Bila ada intoleransi (tak tahan) laktosa, sebaiknya menghindari susu sapi. Pasien striktur harus menghindari makanan yang tinggi serat dan residu seperti kacang-kacangan, pop corn dan sereal. Suplementasi asupan per oral dengan diet formula khusus, dapat mencegah atau memperbaiki malnutrisi. Diet formula khusus dapat diberikan per oral atau dengan pipa nasogastrik. Beberapa pasien IBD memerlukan nutrisi parenteral, misalnya pada obstruksi (sumbatan) usus halus kronik yang tidak dapat dioperasi atau pada pasien setelah (pemotongan) usus halus dalam jumlah besar.

Operasi atas indikasi yang tepat akan sangat menurunkan angka kematian karena komplikasi seperti megakolon toksik, perforasi (usus bocor), sepsis (panas tinggi karena infeksi berat yang menyebar lewat darah keseluruh tubuh) dan komplikasi akut lainnya seperti striktur dan perdarahan hebat. Operasi yang biasa dilakukan adalah proktokolektomi dan ileostomi.

Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan lamanya penyakit IBD. Terdapat 2% insiden kanker setelah 10 tahun, 9% setelah 20 tahun dan 19% setelah 30 tahun. Karena resiko berkembangnya kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan berjalannya waktu, direkomendasikan untuk melakukan proktokolektomi total untuk pasien IBD lebih dari 8 – 10 tahun.

(Sumber:Harian Suara Merdeka, Senin 17 April 2006)
(Dr. Djoko Merdikoputro, Sp.PD)

Analisis Meddia Herbal:
PENANGANAN DENGAN MEDDIA HERBAL

Terapi untuk kasus IBD dapat dilakukan dengan
menggunakan produk MEDDIA Herbal yaitu BANDRUX, jika sudah mengalami perdarahan maka ditambahkan PASCOP.



Baca Selanjutnya....