Minggu, 28 Agustus 2011

SISTEM IMUN BERLAPIS-LAPIS

Kondisi kesehatan dipengaruhi kualitas sistem imun tubuh. Ada dua jenis sistem imun: humoral dan seluler.

Di dalam tubuh manusia, terdapat mekanisme menakjubkan yang bekerja untuk mempertahankan dan menjaga tubuh dari penyakit. Ini adalah sistem imun tubuh, yang bekerja melawan mikroba (bakteri, virus, parasit, jamur) dan toksin atau racun yang menyerang. Bila sistem imun terganggu, tubuh terserang penyakit.

Dua jenis sistem imun

“Secara garis besar, sistem imun ada dua: sistem imun humoral dan sistem imun seluler,” ujar dr. Teguh H. Karyadi Sp.PD dari RS Ciptomangunkusumo. Sistem imun humoral terdiri atas antibody (Imunoglobulin yang disingkat Ig) dan sekret tubuh (saliva/air liur, air mata, keringat, asam lambung, pepsin dan sebagainya). Sistem imun seluler berupa makrofag, limfosit dan neutrofil berada dalam darah dan bersirlukasi ke seluruh tubuh.

Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling nyata adalah kulit, yang menjadi pembatas antara lingkungan dan tubuh. Biasanya, kulit tidak bisa ditembus oleh bakteri dan virus. Kulit mengeluarkan sekret antibakteri, yang bisa mematikan jamur dan bakteri. Maka, kebersihan kulit penting dijaga.

Selain kulit, hidung, mulut dan mata juga tempat masuknya kuman. Air mata dan air liur mengandung enzim lisozim, hingga kuman yang masuk bisa dihancurkan. Tubuh juga punya banyak mekanisme pertahanan, yang terdiri dari bermacam komponen mayor sistem imun, yaitu organ limfoid (timus, lien, sum-sum tulang) serta sistem limfatiknya.

Kelenjar timus yang terletak dekat jantung, berperan penting dalam mekanisme imun tubuh. Organ ini bertanggung jawab dalam pembentukan sel T dan penting bagi bayi baru lahir. Tanpa timus, sistem imun bayi baru lahir buruk. Timus, bersama lien dan sum-sum tulang, menghasilkan leukosit (sel darah putih).

Leukosit bersirkulasi di dalam tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Dengan begitu, sistem imun terkoordinasi dengan baik memonitor tubuh dari kuman atau substansi lain, yang bisa menyebabkan masalah bagi tubuh. Ada dua tipe leukosit: yang pertama bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh, yang kedua bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh menghancurkannya.

Sistem kekebalan sendiri ada dua: yang bersifat alamiah atau dibawa sejak lahir (inate imunity) dan adaptif. “Kedua sistem imun ini saling berhubungan. Kalau ada benda asing gagal ditangkal oleh sistem kekebalan inate, dia akan berhadapan dengan sistem kekebalan adaptif. Kalau tetap kalah, kita akan sakit,” ujar dr. Teguh.

Sistem kekebalan alamiah atau bawaan bersifat non spesifik, selalu aktif (tidak memerlukan paparan awal untuk mengenal suatu patogen) dan tidak memiliki immunological memory (rekaman atau ingatan dari setiap substansi asing yang ditemui). Sementara sistem kekebalan adaptif, efektif melindungi tubuh dari penyakit yang pernah menyerang, dan aktif ketika berhadapan dengan suatu penyakit, dengan membuat antibody terhadap dan membuat tubuh menjadi kebal jika penyakit yang sama menyerang kembali. Kekebalan ini bisa diaktikan dengan imunisasi. Kemampuannya dalam menerima stimulus, membuatnya mampu berevolusi dan merespons dalam jangka panjang.
(sumber: OTC DIGEST. EDISI 55. Tahun IV. 1 Maret 2011)
Baca Selanjutnya....

Jumat, 26 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (3)

IBD dan Risiko Kanker Kolon

Penderita IBD bisa berisiko terkena kanker kolon. Bagaimana mencegahnya?

Ada kaitan antara IBD (inflammation bowel disease) dengan peningkatan risiko kanker kolorektal (kolon/usus besar dan rektum/anus). Dr. dr. Murdani Abdullah dari FKUI/RSCM menyatakan, “Kanker Kolon merupaka penyakit yang berdiri sendiri. Namun lebih banyak ditemukan pada penderita IBD.” Sebuah studi menyebutkan, pasien IBD berisiko 5x lebih tinggi terhadap kanker kolorektal dibandingkan orang biasa.

Bisa dikatakan, IBD adalah faktor risiko kanker kolorektal. Atau, kanker kolorektal bisa merupakan komplikasi dari IBD. Hal senada disampaikan dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, Ketua Advokasi PAPDI – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, “Kolitis ulseratif bisa menjadi ganas (kanker) jika tidak ditangani dengan baik. Tapi perjalanannya panjang, bisa puluhan tahun.” Sekitar 5 – 8% pasien KU (kolitis ulseratif) akan menderita kanker kolorektal dalam 20 tahun setelah mereka didiagnosa KU. Penyakit yang aktif maupun yang dalam kondisi remisi, sama berisiko terhadap kanker kolorektal.
Hingga saat ini, belum ada dasar genetik yang diidentifikasi untuk menjelaskan kecenderungan kanker pada IBD. Diduga, inflamasi (peradangan) kroniklah yang menyebabkan kanker karena daerah yang meradang dapat meningkatkan perkembangan sel-sel abnormal, yang akhirnya meningkatkan sel-sel kanker.

Ini didukung oleh fakta bahwa risiko kanker meningkat dengan makin lamanya durasi KU; besarnya daerah yang terserang KU; munculnya peradangan lain dalam waktu yang bersamaan. Hubungan antara inflamasi dengan kanker kolon perlu dicermati, karena 51% lebih kanker kolorektal di Indonesia terjadi di usia < 50 tahun, sementara di negara maju kanker kolorektal banyak terjadi pada rerata usia 67 tahun. Melalui penelitiannya, Dr. dr. Murdani menduga, hal ini berkaitan erat dengan proses inflamasi, meski penyebab inflamasi masih perlu diteliti lebih lanjut.

Mengurangi Risiko Kanker
Meningkatnya risiko kanker kolorektal pada pasien IBD, bukan berarti semua pasien IBD akan menderita kanker kolorektal. Yang penting, lakukan skrining dengan kolonoskopi sebagai pencegahan. Jika ditemukan perkembangan sel-sel tidak normal atau sel kanker, bisa segera diambil tindakan sehingga perkembangan kanker bisa dicegah. Diskusikan dengan dokter, apakah perlu melakukan kolonoskopi tiap 1 – 2 tahun.

Literatur menyebutkan, pasien dengan IBD remisi berisiko sama besar dengan pasien IBD aktif terhadap kanker kolorektal. Ini mungkin karena inflamasi yang terjadi pada IBD, meski tentu saja, Inflamasi jauh lebih tinggi pada IBD aktif. Pasien perlu mengkonsumsi obat antiinflamasi yang dapat mencegah berkembangnya kanker kolorektal pada pasien IBD, misalnya obat 5-aminosalicylic acid (5-ASA) mesalazine.

Dukung dengan memperbaiki pola makan. Kurangi konsumsi makanan yang bisa memicu inflamasi di saluran cerna dan membuat IBD kambuh: lemak, daging merah, gula, alkohol, dan sebisa mungkin hindari rokok. Jangan lupa olahraga rutin.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)
Baca Selanjutnya....

Kamis, 11 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (2)

Makanan
FAKTOR RISIKO IBD

Makanan tertentu dapat meningkatkan risiko IBD. Makanan yang mana dan seperti apa?

Penyebab penyakit IBD (inflammation bowel disease) belum diketahui pasti. Beberapa faktor dianggap saling berkaitan, salah satunya makanan. “Makanan tertentu dapat memperlambat remisi dan kadang menginduksi (memicu) munculnya IBD,” ujar DR. dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Makanan tidak secara langsung menyebabkan IBD. Namun, makanan tertentu dan pola makan dapat memperburuk gejala IBD, dan berhubungan dengan peningkatan risiko IBD. Misalnya pola makan kebarat-baratan yang tinggi lemak, gula dan alkohol. Makanan ini dapat memicu pertumbuhan jamur dan/atau bakteri patogen.
dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD-KGEH, Ketua Advokasi PB PAPDI-Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, menyatakan, “Makanan berlemak amat berpengaruh.” Bisa jadi, karena terjadi peningkatan peradangan yang disebabkan lemak omega-6 yang utamanya terdapat pada lemah hewani dan lemak tumbuhan tertentu (minyak jagung, biji bunga matahari). Selain itu, makanan berlemak dan berminyak mungkin tidak dapat dicerna sepenuhnya, sehingga dapat menimbulkan gas dan diare.

Sebuah studi membandingkan perbedaan pola makan masyarakat Jepang dari tahun 1966 – 1985. Ketika insiden penyakit Crohn dan asupan makanan sehari-hari ditelaah, terlihat bahwa protein hewani muncul sebagai faktor risiko independen yang paling kuat. Protein hewani terutama daging merah, berkontribusi meningkatkan jumlah toksin hydrogen sulfide di kolon, yang dapat meningkatkan aktivitas penyakit pada kolitis ulseratif (KU). Hydrogen sulfide juga dapat mengganggu kerja butyrate, molekul antiradang di kolon. Konsumsi daging merah dan daging yang diproses, meningkatkan kemungkinan kambuh > 5 kali.

Makanan lain yang bisa mengiritasi yakni makanan pedas. Juga produk susu tinggi laktosa, bagi mereka yang memiliki intoleransi atau sensitif terhadap laktosa. Intoleransi dan alergi makanan, terkait erat dengan IBD. Sebuah literatur menyebutkan, alergi makanan berperan 66% dalam kasus KU. Ada kasus, seorang bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan gejala kuat terhadap kolitis. Setelah sang ibu berhenti mengkonsumsi susu dan produk susu sapi, gejala yang dialami sang bayi hilang.

Belum ada penelitian yang menyatakan secara pasti bahwa makanan memicu IBD. Makanan ‘hanya’ merupakan satu faktor risiko. Tak ada salahnya memperhatikan pola makan dan mengurangi konsumsi makanan yang meningkatkan risiko penyakit, apalagi jika ada riwayat IBD dalam keluarga.

Gula Tak Selalu Manis

Ada hubungan antara IBD dengan pola makan tinggi gula. Gula dan karbohidrat sederhana dapat menciptakan kondisi sangat asam pada usus bagian bawah, sehingga mengganggu ekosistem bakteri yang normal. Ini lingkungan yang baik untuk pertumbuhan Candida atau jamur.

Gula juga mengiritasi permukaan membran mukus saluran cerna dan mengganggu fungsi sel darah putih (phagocytes). Penelitian menunjukkan, pasien IBD mengkonsumsi gula dan makanan manis lebih banyak dari kelompok kontrol. Dampaknya tidak terlalu terasa, namun mengintai dalam jangka panjang.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)






Baca Selanjutnya....