Sabtu, 17 September 2011

SAAT LANSIA TETAP SEHAT DENGAN HERBAL

“Proses menjadi tua harus dilalui oleh setiap orang. Kita tidak dapat menghentikan atau memundurkan jarum jam agar proses itu tidak berhasil. Sejak lama manusia mencari “obat” yang memperlambat proses penuaan dan memperpanjang umur. Tetapi apa artinya berumur panjang dengan kondisi tidak sehat, tentunya sangat tidak menyenangkan. Untuk itu kita harus berupaya tetap sehat walau usia semakin menua”

Mengapa menjadi tua ?

Proses penuaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kerusakan molekul, kecepatan kerusakan sel yang melampaui kemampuan tubuh untuk memperbaikinya sehingga dapat mengganggu fungsi tubuh. Proses ini dipicu oleh laju peingkatan reaksi radikal bebas dan penurunan kemampuan sistem pertahanan tubuh. Di dalam tubuh manusia, radikal bebas adalah produk samping yang dihasilkan secara alami dalam proses pencernaan, pernapasan, dan pemakaian energi. Sebagian besar dari radikal bebas itu tidak berbahaya selama tubuh tetap dalam proses kegiatannya. Tetapi apabila jumlah penumpukan kerusakan akibat radikal bebas semakin meningkat maka semakin sulit untuk diperbaiki. Radikal bebas dapat menyerang protein di lensa mata yang menyebabkan kekaburan lensa mata dan akhirnya timbul katarak. Mereka juga dapat mengoksidasi apa yang dinamakan “kolesterol jahat” di dalam arteri, sehingga menjadi plak yang menempel di dinding pembuluh darah dan selanjutnya menghentikan aliran darah yang menyebabkan stroke atau serangan jantung.
Radikal bebas juga dapat merusak dinding sel, menyerang kromosom dan DNA, menyebabkan kanker dan membunuh sel-sel tubuh anda. Penyakit-penyakit degeneratif lain yang dapat timbul adalah, rematik, diabetes mellitus dan sebagainya. Tanda-tanda proses menua biasanya mulai tampak pada usia 30 tahun dan pada usia 60 tahun ke atas. Seorang mulai mengalami masalah dalam kehidupannya terutama masalah kesehatan dan keterbatasan aktivitas fisik.

Perubahan fisik pada lansia

Saat seseorang memasuki usia lanjut maka dalam tubuhnya terjadi proses kemunduran fisik. Kecepatan perubahan pada tiap individu berbeda-beda tergantung dari kondisi seseorang, misalnya keturunan, pola hidup dan penyakit yang pernah diderita dan sebagainya. Perubahan fisik seseorang yang mulai masuk kelompok lanjut usia dapat dilihat berdasarkan perubahan berikut:
1. Perubahan warna rambut, dari hitam menjadi putih serta rambut mulai rontok.
2. Gigi mulai tanggal dan tidak ada pergantian gigi secara alami.
3. Kemampuan penglihatan mulai berkurang, terutama kemampuan penglihatan jarak dekat sehingga mereka perlu bantuan kacamata untuk membaca.
4. Sikap berdiri kurang tegap.
5. Kulit mulai berkeriput.

Penyakit yang sering terjadi pada lansia

Proses menua terjadi pada seluruh organ tubuh, termasuk metabolismenya. Contohnya penurunan fungsi sistem pencernaan dan penurunan sistem kekebalan. Dengan adanya gangguan pencernaan, metabolism dalam tubuh yang lain akan mengalami gangguan pula yang mengakibatkan penurunan pada sistem pertahanan tubuh. Akibatnya lansia lebih rentan terhadap penyakit, termasuk didalamnya penyakit degeneratif. Beberapa penyakit yang sering dikeluhkan oleh para lansia adalah rematik, penglihatan kurang jelas, hipertensi, diabetes mellitus, pengeroposan tulang (osteoporosis), penyakit prostat dan sebagainya. Khusus pada lansia wanita terdapat gangguan akibat menopause (berhentinya masa haid), yang dapat mempengaruhi kesehatan akibat berkurangnya hormon estrogen.

Sehat dan bahagia menjadi lansia

Tentunya kita semua tidak dapat menolak proses penuaan pada tubuh kita, tetapi kita dapat mengupayakan bagaimana menjadi tua dengan sehat dan bahagia. Upaya yang dapat kita lakukan harus sedini mungkin, antara lain:
1. Teruskan meningkatkan ketaqwaan pada Tuhan YME
2. Makan makanan yang sehat dan seimbang
3. Berolahraga secara teratur
4. Buang stress dalam kehidupan anda
5. Selalu berpikir positif
6. Upayakan berat badan tidak berlebih
7. Melakukan cek kesehatan
8. Jika terlanjur mengidap penyakit tertentu, konsultasikan dan control penyakit pada ahlinya secara teratur
9. Selain menggunakan obat-obatan medis konvensional, anda dapat memanfaatkan tanaman obat untuk menjaga kesehatan para lansia.

Beberapa jenis tanaman obat berikut dapat digunakan untuk membantu mengatasi berbagai penyakit yang terjadi pada lansia yaitu:

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

- Buah Adas

- Akar Alang-alang

- Daun Alpukat

- Umbi Bawang Putih

- Daun & Buah Belimbing Wuluh

- Batang Brotowali

- Cengkeh

- Daun Dadap Serep

- Daun Dewa (seluruh bagian)

- Daun Sendok (seluruh bagian)

- Daun & Akar Iler

- Rimpang Jahe

- Jeruk Nipis (buah, kulit buah, akar)

- Daun & Biji Jintan

- Biji Jintan Hitam

- Daun Kapulaga

- Kayu Manis (kulit batang)

- Biji dan Daun Kedawung

- Daun Keji Beling

- Kembang Sepatu (daun & bunga)

- Rimpang Kencur

- Krokot

- Daun Kumis Kucing

- Rimpang Kunyit

- Buah Labu Air

- Buah Lada

- Bunga Melati

- Meniran (seluruh bagian)

- Murbei ( daun, buah, batang, kulit)

- Pala (biji, kulit, bunga)

- Patikan Kebo (seluruh bagian)

- Pegagan (seluruh bagian)

- Pisang Kepok (umbi dan buah)

- Pulosari (kulit batang & cabang)

- Daun Saga

- Daun Sambang Darah

- Sambiloto (seluruh bagian)

- Daun Seledri

- Semangka (buah dan kulit)

- Daun Sembung

- Daun Simbar Menjangan

- Daun Sosor Bebek

- Rimpang Temulawak

- Daun Trawas

- Ubi Jalar (daun dan umbi)

- Urang-aring (seluruh tanaman)

- Waluh (buah dan biji)

- Umbi Wortel, dll


(Sumber: Majalah Tanaman Obat HERBA, Edisi 43/Pebruari 2006)
Baca Selanjutnya....

Minggu, 28 Agustus 2011

SISTEM IMUN BERLAPIS-LAPIS

Kondisi kesehatan dipengaruhi kualitas sistem imun tubuh. Ada dua jenis sistem imun: humoral dan seluler.

Di dalam tubuh manusia, terdapat mekanisme menakjubkan yang bekerja untuk mempertahankan dan menjaga tubuh dari penyakit. Ini adalah sistem imun tubuh, yang bekerja melawan mikroba (bakteri, virus, parasit, jamur) dan toksin atau racun yang menyerang. Bila sistem imun terganggu, tubuh terserang penyakit.

Dua jenis sistem imun

“Secara garis besar, sistem imun ada dua: sistem imun humoral dan sistem imun seluler,” ujar dr. Teguh H. Karyadi Sp.PD dari RS Ciptomangunkusumo. Sistem imun humoral terdiri atas antibody (Imunoglobulin yang disingkat Ig) dan sekret tubuh (saliva/air liur, air mata, keringat, asam lambung, pepsin dan sebagainya). Sistem imun seluler berupa makrofag, limfosit dan neutrofil berada dalam darah dan bersirlukasi ke seluruh tubuh.

Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling nyata adalah kulit, yang menjadi pembatas antara lingkungan dan tubuh. Biasanya, kulit tidak bisa ditembus oleh bakteri dan virus. Kulit mengeluarkan sekret antibakteri, yang bisa mematikan jamur dan bakteri. Maka, kebersihan kulit penting dijaga.

Selain kulit, hidung, mulut dan mata juga tempat masuknya kuman. Air mata dan air liur mengandung enzim lisozim, hingga kuman yang masuk bisa dihancurkan. Tubuh juga punya banyak mekanisme pertahanan, yang terdiri dari bermacam komponen mayor sistem imun, yaitu organ limfoid (timus, lien, sum-sum tulang) serta sistem limfatiknya.

Kelenjar timus yang terletak dekat jantung, berperan penting dalam mekanisme imun tubuh. Organ ini bertanggung jawab dalam pembentukan sel T dan penting bagi bayi baru lahir. Tanpa timus, sistem imun bayi baru lahir buruk. Timus, bersama lien dan sum-sum tulang, menghasilkan leukosit (sel darah putih).

Leukosit bersirkulasi di dalam tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Dengan begitu, sistem imun terkoordinasi dengan baik memonitor tubuh dari kuman atau substansi lain, yang bisa menyebabkan masalah bagi tubuh. Ada dua tipe leukosit: yang pertama bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh, yang kedua bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh menghancurkannya.

Sistem kekebalan sendiri ada dua: yang bersifat alamiah atau dibawa sejak lahir (inate imunity) dan adaptif. “Kedua sistem imun ini saling berhubungan. Kalau ada benda asing gagal ditangkal oleh sistem kekebalan inate, dia akan berhadapan dengan sistem kekebalan adaptif. Kalau tetap kalah, kita akan sakit,” ujar dr. Teguh.

Sistem kekebalan alamiah atau bawaan bersifat non spesifik, selalu aktif (tidak memerlukan paparan awal untuk mengenal suatu patogen) dan tidak memiliki immunological memory (rekaman atau ingatan dari setiap substansi asing yang ditemui). Sementara sistem kekebalan adaptif, efektif melindungi tubuh dari penyakit yang pernah menyerang, dan aktif ketika berhadapan dengan suatu penyakit, dengan membuat antibody terhadap dan membuat tubuh menjadi kebal jika penyakit yang sama menyerang kembali. Kekebalan ini bisa diaktikan dengan imunisasi. Kemampuannya dalam menerima stimulus, membuatnya mampu berevolusi dan merespons dalam jangka panjang.
(sumber: OTC DIGEST. EDISI 55. Tahun IV. 1 Maret 2011)
Baca Selanjutnya....

Jumat, 26 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (3)

IBD dan Risiko Kanker Kolon

Penderita IBD bisa berisiko terkena kanker kolon. Bagaimana mencegahnya?

Ada kaitan antara IBD (inflammation bowel disease) dengan peningkatan risiko kanker kolorektal (kolon/usus besar dan rektum/anus). Dr. dr. Murdani Abdullah dari FKUI/RSCM menyatakan, “Kanker Kolon merupaka penyakit yang berdiri sendiri. Namun lebih banyak ditemukan pada penderita IBD.” Sebuah studi menyebutkan, pasien IBD berisiko 5x lebih tinggi terhadap kanker kolorektal dibandingkan orang biasa.

Bisa dikatakan, IBD adalah faktor risiko kanker kolorektal. Atau, kanker kolorektal bisa merupakan komplikasi dari IBD. Hal senada disampaikan dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, Ketua Advokasi PAPDI – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, “Kolitis ulseratif bisa menjadi ganas (kanker) jika tidak ditangani dengan baik. Tapi perjalanannya panjang, bisa puluhan tahun.” Sekitar 5 – 8% pasien KU (kolitis ulseratif) akan menderita kanker kolorektal dalam 20 tahun setelah mereka didiagnosa KU. Penyakit yang aktif maupun yang dalam kondisi remisi, sama berisiko terhadap kanker kolorektal.
Hingga saat ini, belum ada dasar genetik yang diidentifikasi untuk menjelaskan kecenderungan kanker pada IBD. Diduga, inflamasi (peradangan) kroniklah yang menyebabkan kanker karena daerah yang meradang dapat meningkatkan perkembangan sel-sel abnormal, yang akhirnya meningkatkan sel-sel kanker.

Ini didukung oleh fakta bahwa risiko kanker meningkat dengan makin lamanya durasi KU; besarnya daerah yang terserang KU; munculnya peradangan lain dalam waktu yang bersamaan. Hubungan antara inflamasi dengan kanker kolon perlu dicermati, karena 51% lebih kanker kolorektal di Indonesia terjadi di usia < 50 tahun, sementara di negara maju kanker kolorektal banyak terjadi pada rerata usia 67 tahun. Melalui penelitiannya, Dr. dr. Murdani menduga, hal ini berkaitan erat dengan proses inflamasi, meski penyebab inflamasi masih perlu diteliti lebih lanjut.

Mengurangi Risiko Kanker
Meningkatnya risiko kanker kolorektal pada pasien IBD, bukan berarti semua pasien IBD akan menderita kanker kolorektal. Yang penting, lakukan skrining dengan kolonoskopi sebagai pencegahan. Jika ditemukan perkembangan sel-sel tidak normal atau sel kanker, bisa segera diambil tindakan sehingga perkembangan kanker bisa dicegah. Diskusikan dengan dokter, apakah perlu melakukan kolonoskopi tiap 1 – 2 tahun.

Literatur menyebutkan, pasien dengan IBD remisi berisiko sama besar dengan pasien IBD aktif terhadap kanker kolorektal. Ini mungkin karena inflamasi yang terjadi pada IBD, meski tentu saja, Inflamasi jauh lebih tinggi pada IBD aktif. Pasien perlu mengkonsumsi obat antiinflamasi yang dapat mencegah berkembangnya kanker kolorektal pada pasien IBD, misalnya obat 5-aminosalicylic acid (5-ASA) mesalazine.

Dukung dengan memperbaiki pola makan. Kurangi konsumsi makanan yang bisa memicu inflamasi di saluran cerna dan membuat IBD kambuh: lemak, daging merah, gula, alkohol, dan sebisa mungkin hindari rokok. Jangan lupa olahraga rutin.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)
Baca Selanjutnya....

Kamis, 11 Agustus 2011

Serba-serbi IBD (2)

Makanan
FAKTOR RISIKO IBD

Makanan tertentu dapat meningkatkan risiko IBD. Makanan yang mana dan seperti apa?

Penyebab penyakit IBD (inflammation bowel disease) belum diketahui pasti. Beberapa faktor dianggap saling berkaitan, salah satunya makanan. “Makanan tertentu dapat memperlambat remisi dan kadang menginduksi (memicu) munculnya IBD,” ujar DR. dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Makanan tidak secara langsung menyebabkan IBD. Namun, makanan tertentu dan pola makan dapat memperburuk gejala IBD, dan berhubungan dengan peningkatan risiko IBD. Misalnya pola makan kebarat-baratan yang tinggi lemak, gula dan alkohol. Makanan ini dapat memicu pertumbuhan jamur dan/atau bakteri patogen.
dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD-KGEH, Ketua Advokasi PB PAPDI-Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, menyatakan, “Makanan berlemak amat berpengaruh.” Bisa jadi, karena terjadi peningkatan peradangan yang disebabkan lemak omega-6 yang utamanya terdapat pada lemah hewani dan lemak tumbuhan tertentu (minyak jagung, biji bunga matahari). Selain itu, makanan berlemak dan berminyak mungkin tidak dapat dicerna sepenuhnya, sehingga dapat menimbulkan gas dan diare.

Sebuah studi membandingkan perbedaan pola makan masyarakat Jepang dari tahun 1966 – 1985. Ketika insiden penyakit Crohn dan asupan makanan sehari-hari ditelaah, terlihat bahwa protein hewani muncul sebagai faktor risiko independen yang paling kuat. Protein hewani terutama daging merah, berkontribusi meningkatkan jumlah toksin hydrogen sulfide di kolon, yang dapat meningkatkan aktivitas penyakit pada kolitis ulseratif (KU). Hydrogen sulfide juga dapat mengganggu kerja butyrate, molekul antiradang di kolon. Konsumsi daging merah dan daging yang diproses, meningkatkan kemungkinan kambuh > 5 kali.

Makanan lain yang bisa mengiritasi yakni makanan pedas. Juga produk susu tinggi laktosa, bagi mereka yang memiliki intoleransi atau sensitif terhadap laktosa. Intoleransi dan alergi makanan, terkait erat dengan IBD. Sebuah literatur menyebutkan, alergi makanan berperan 66% dalam kasus KU. Ada kasus, seorang bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan gejala kuat terhadap kolitis. Setelah sang ibu berhenti mengkonsumsi susu dan produk susu sapi, gejala yang dialami sang bayi hilang.

Belum ada penelitian yang menyatakan secara pasti bahwa makanan memicu IBD. Makanan ‘hanya’ merupakan satu faktor risiko. Tak ada salahnya memperhatikan pola makan dan mengurangi konsumsi makanan yang meningkatkan risiko penyakit, apalagi jika ada riwayat IBD dalam keluarga.

Gula Tak Selalu Manis

Ada hubungan antara IBD dengan pola makan tinggi gula. Gula dan karbohidrat sederhana dapat menciptakan kondisi sangat asam pada usus bagian bawah, sehingga mengganggu ekosistem bakteri yang normal. Ini lingkungan yang baik untuk pertumbuhan Candida atau jamur.

Gula juga mengiritasi permukaan membran mukus saluran cerna dan mengganggu fungsi sel darah putih (phagocytes). Penelitian menunjukkan, pasien IBD mengkonsumsi gula dan makanan manis lebih banyak dari kelompok kontrol. Dampaknya tidak terlalu terasa, namun mengintai dalam jangka panjang.

(Sumber: OTC DIGEST. Edisi 55. Tahun V. 1 Maret 2011)






Baca Selanjutnya....