Jumat, 18 Januari 2013

MENGUBAH ORIENTASI PENANGANAN NARKOBA

PERSEPSI bahwa Indonesia adalah negeri yang teramat empuk bagi tumbuh berkembangnya bisnis narkoba kembali mendapatkan dukungan empiris. Awal pekan ini, polisi menangkap jaringan pelaku yang mencoba meyelundupkan 600 kg sabu senilai hampir Rp. 600 miliar.

Kasus ini semakin membenarkan premis betapa ancaman narkoba terhadap anak bangsa ini semakin lama semakin mengerikan. Mengerikan, karena dilihat dari besarnya jumlah pasokan yang berhasil ditangkap, semakin sulit membayangkan betapa seriusnya ancaman narkoba terhadap masyarakat.

Bila sekali tangkapan saja nilainya telah mencapai Rp. 600 miliar, sulit memperkirakan berapa nilai narkobayang berhasil lolos dan diperdagangkan dalam bisnis ilegal di negeri ini. Bila benar asumsi bahwa jumlah narkoba yang berhasil ditangkap aparat jauh lebih sedikit daripada yang berhasil diloloskan oleh sindikat pengedar, jelas anak bangsa ini tengah berada dalam bahaya.

Kasus-kasus penangkapan skala besar narkoba yang sebelumnya terungkap di Teluk Naga, Mal Taman Anggrek, dan Tangerang menambah fakta betapa asumsi ini bukannya tidak masuk akal. Terungkapnya kasus-kasus itu di satu sisi memang dapat menjadi indikator meningkatnya kinerja polisi dalam mengganyang sindikat pengedar obat bius. Namun di sisi lain, dapat memberi petunjuk betapa kebijakan pemerintah telah mengalami misleading di bidang pemberantasan narkoba. Sehingga kasus demi kasus terus bermunculan. Angka penyalahgunaan narkoba pun terus meningkat. Anggapan bahwa belum ada kebijakan holistik di bidang ini pun sulit dibantah.

Setiap instansi berjalan dengan program sendiri-sendiri. Departemen Kesehatan misalnya, fokus mengatasi merebaknya HIV/AIDS, karena itu ada pro-kebijakan membagi gratis jarum suntik bagi para pecandu. Kebijakan ini tidak sinkron dengan langkah Badan Narkotika Nasional yang pernah menentang upaya ini dengan asumsi pembagian jarum suntik itu bisa disalahgunakan untuk menyuntikkan narkoba. Departemen Luar Negeri pun tidak mengherankan bila memiliki agendanya sendiri. Karena institusi inilah yang mewakili Negara menandatangani perjanjian dalam konteks Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Penyamarataan perlakuan terhadap pengedar dan pencandu pun menjadi soal tersendiri. Ini bukti bahwa penanganan masalah ini masih jauh dari memuaskan. Pengedar dan pecandu sama-sama dimasukkan ke dalam penjara. Semestinya, perlakuan terhadap pecandu tidaklah setali tiga uang dengan perlakuan terhadap pengedar. Sudah tepat bila pengedar yang terbukti bersalah ditempatkan di penjara narkoba. Namun sungguh keliru menempatkan mereka satu atap dengan pecandu. Karena sejatinya pecandu adalah korban, pasien, sehingga yang tepat bila mereka diobati di pusat rehabilitasi. 

Makin maraknya kasus narkoba seharusnya mengubah kebijakan pemerintah untuk lebih berorientasi kepada pencegahan. Selama ini lebih banyak sumber daya dicurahkan untuk upaya pemberantasan. Sudah saatnya orientasi ini diubah. Dalam kaitan ini, pemerinrah dituntut menerapkan skema lebih tegas, lebih terintegrasi, dan lebih menyeluruh. Orientasi ini tidak hanya akan membuat penanganan terhadap narkoba lebih berhasil, melainkan juga membuat seluruh warga masyarakat lebih terlindungi.  
(Sumber: Editorial Media Indonesia, edisi Minggu 23 Maret 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar