Sabtu, 28 Februari 2009

T Y P U S

PENGERTIAN
Typus abdominalis (demam tifoid atau enteric fever/typhoid fever) ialah infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari. Penyebabnya adalah kuman salmonella typosa. Kuman ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, hidup dan berkembang dalam perut terutama di saluran empedu. Salmonella Typosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurangnya empat macam antigen, yaitu antigen O (somatik), H (flagella), Vi dan protein membran hialin.
Gejala awalnya seperti orang mau flu. Bedanya, demam typus umumnya muncul sore dan malam hari. Tidak disertai gejala batuk pilek. Demamnya sukar turun walau minum obat dan disertai nyeri kepala hebat. Terjadi gangguan pada saluran cerna misalnya perut terasa tidak enak, kembung, diare, muntah atau bahkan tidak bisa buang air besar dan gangguan kesadaran berupa ‘meranyau atau mengigau’. Penyakit typus bisa membawa kematian jika usus bocor akibat kuman tersebut. Kuman tersebut bisa dibunuh dengan antibiotika, tapi kadang-kadang tidak semua kuman mati terutama yang ada di kandung empedu dan sewaktu-waktu kuman tersebut keluar dari kandung empedu ke usus, jika daya tahan tubuh lemah maka typus akan kambuh lagi.

PATOGENESIS
Bakteri masuk melalui saluran cerna, dibutuhkan jumah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup masuk ke dalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak peyeri, selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah (disebut bakterimia primer).
Pada tahap berikutnya, Salmonella typosa menuju ke organ sistem retikulo endotelial yaitu hati, limpa, sumsum tulang dan organ lain (disebut bakteri sekunder). Kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap infeksi Salmonella typosa.

MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 7 - 14 hari (rata-rata 3 – 30 hari) selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari.
Komplikasi typus umumnya muncul pada minggu kedua demam, yaitu jika mendadak suhu turun dan disangka sakitnya sudah menyembuh, namun denyut nadi meninggi, perut mulas melilit, dan pasien tampak sakit berat. Makanan tak selalu harus lunak, asal jangan jenis yang merangsang. Waspadai jika buang air ada darahnya, tanda awal usus jebol, dan demamnya muncul lagi, serta kondisi pasien cepat menurun setelah sebelumnya tampak menyembuh.
Tanda-tanda yang dapat diamati yaitu, lidah tampak berselaput putih susu sampai kecoklatan kotor, bagian ujung dan tepinya merah terang, bibir kering, mungkin sesekali mengalami buang-buang air dan kondisi fisik tampak lemah, serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut mungkin muncul gejala kuning, sebab pada typus organ hati bisa membengkak seperti gejala hepatitis. Organ limpa pun membesar dan terasa nyeri jika dilakukan perabaan.

PENANGANAN DENGAN HERBAL MEDDIA
Penggunaan produk MEDDIA Herbal untuk penanganan penyakit Typus adalah dengan Produk BANDRUX. Dari pengalaman yang sudah pernah kami tangani, BANDRUX satu paket sudah bisa menyembuhkan penyakit tersebut, bahkan kurang dari satu paket pun sudah bisa menyembuhkan.



Baca Selanjutnya....

Makanan Tradisional Dapat Mencegah Kanker

Kematian yang disebabkan penyakit kanker akan terus meningkat, jika tidak ada perubahan pola makan, perilaku, gaya hidup di masyarakat. Satu upaya bermakna yang bisa mengurangi penyakit kanker adalah lebih banyak mengonsumsi makanan tradisional (lokal).

"Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan, yang ditandai dengan menjamurnya "hypermarket", restoran cepat saji, waralaba, "food court" dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan "junk food" (makanan sampah) dengan risiko terkena kanker sangat tinggi," kata Prof dr Muhammad Sulchan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, belum lama ini.

Ditambahkan, penetrasi pangan global menyebabkan konvergensi makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan tidak sehat. Hal itu ditandai dari konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif.

Buruknya hubungan manusia dengan alam berpijak pada etika antroposentris-etika yang mengedepankan hasrat manusia atas alam yang berdampak pada eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, hiperkomodifikasi, terutama "fast food", dan hiper konsumsi. Kondisi itu membuat hidup masyarakat menjadi sangat konsumtif.

"Dari situlah malapetaka penyakit muncul, terutama penyakit-penyakit kronik termasuk kanker," kata Sulchan menegaskan.
Dalam sejarah peradaban, menurut Sulchan, manusia mengakses pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya.

"Alam semesta merupakan tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan yang sinergis," katanya.

Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. "Eksploitasi alam berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia sedang menuju ke arah itu," katanya.

Ia menjelaskan, beragam karsinogen (pemicu kanker) ada di dalam pangan, meliputi karsinogen pangan alamiah dan buatan, sumber subtansi selama penyimpanan, proses pengolahan panas tinggi, polutan, pestisida, bahan tambahan pangan, dan sekitar seribu zat bersifat karsinogen.

Menurut Sulchan, pengawetan dan pengolahan makanan dengan menggunakan garam, pengasapan bersifat inisiator dan promotor kanker. Makanan cepat saji menggunakan proses pengolahan dan pematangan yang berisiko menyebabkan kanker. "Westernisasi makanan meningkatkan risiko terkena kanker," katanya.

Untuk mengurangi risiko kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengonsumsi makanan lokal yang menggunakan bahan baku alami dan diolah secara tradisional. Selain itu, harus mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar, karena pada keduanya terdapat banyak zat yang bersifat antioksidan.

Ia menyebutkan, memakan tahu dan tempe berbahan kedelai lokal lebih sehat dibanding kedelai impor dari Amerika Serikat yang masuk kategori GMF (genetically modified food). Kedelai GMF banyak ditolak negara-negara Eropa.

"Konsumsi sayuran dan buah asli, bukan ekstraks," katanya mengingatkan.

Ia mencontohkan kasus kanker usus besar di Tanah Air menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1934 hanya ditemukan satu kasus, lalu pada 1937 menjadi tujuh, dan saat ini prevalensinya sekitar 1,8 per 100.000 penduduk.

"Dibandingkan prevalensi di AS dan negara maju lainnya, kasus kanker usus besar di Indonesia memang masih rendah. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengurangi jumlah pengidapnya," ujarnya.

Di AS, kata Sulchan, angka kejadiannya 40 per 100.000 orang, Eropa (30), Jepang (13), India (9), dan Nigeria 2,5 kasus per 100.000 penduduk.

Hal senada dikemukakan Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia, Prof Suhartati. Dalam kesempatan terpisah, di Jakarta, baru-baru ini, Prof Suhartati mengatakan, dunia terancam ledakan penyakit kanker dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. Diperkirakan akan ada 84 juta orang meninggal akibat penyakit kanker. "Ledakan kanker terutama terjadi di negara berkembang. Karena ada peningkatan penderita kanker sebanyak 300 persen pada tahun 2030," ujarnya.

Penyebabnya, menurut Prof Suhartati, karena penyakit kanker termasuk dalam neglected endemic atau penyakit yang tanpa gejala. Akibat ketidaktahuan akan penyakit itulah yang membuat masyarakat tidak melakukan pencegahan dini.

Hal ini dibuktikan dengan pasien yang datang sudah pada kondisi stadium lanjut. "Mereka datang dalam kondisi stadium advanced dan local advanced atau stadium 4," ujar Prof Tati.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga, kanker merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir angka penderita kanker bertambah dari 3,64 persen tahun 1981 menjadi 6 persen di tahun 2001.

Data American Cancer Society mencatat, penyebab kematian terbesar pada wanita di dunia adalah kanker payudara (19 persen), kanker paru-paru (19 persen), serta kanker kolon dan rektum (15 persen).

Pada pria, penyakit kanker didominasi oleh kanker paru (34 persen), kanker kolon dan rektum (12 persen), serta kanker prostat (10 persen). Diperkirakan, 80-90 persen kanker disebabkan oleh faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan dan makanan.

"Dari sudut pandang gizi, diketahui bahwa energi, protein, zat besi, seng, dan vitamin A berperan penting dalam mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi zat-zat gizi tersebut akan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, dan akhirnya tubuh tidak mampu menahan karsinogenesis (pemicu terjadinya sel kanker)," ujarnya.

Dalam studi menggunakan hewan percobaan terbukti bahwa pembatasan makanan tertentu dapat mencegah pertumbuhan berbagai tumor. Teori yang mendasari hal itu ialah dengan pembatasan makanan akan menyebabkan perubahan hormonal di dalam tubuh, sehingga proses tumorigenesis (pembentukan tumor) menjadi terhambat.

"Penyakit tumor terlihat cenderung menimpa hewan percobaan (tikus) yang mempunyai berat badan berlebih akibat terlalu banyak makan," kata Prof Tati.

Makanan yang kaya akan lemak ternyata berkaitan erat dengan munculnya kanker usus dan kanker payudara. Sedangkan kandungan lemak yang rendah dan konsumsi serat yang tinggi, seperti pada pola makan vegetarian, dapat menekan jumlah penderita kanker.

Tumorigenesis akan semakin berkembang pada pola makan yang rendah lemak tak jenuh ganda. Lemak tak jenuh, baik tunggal maupun ganda, selama ini dikenal sebagai lemak yang bermanfaat bagi pencegahan penyakit jantung koroner. Bahan nabati seperti kacang-kacangan umumnya kaya akan lemak tak jenuh.

Hormon tertentu diduga ikut bertanggung jawab pada munculnya tumor. Pengeluaran hormon itu dipicu oleh konsumsi lemak yang tinggi. Contohnya adalah hormon prolaktin (serum) yang merangsang pertumbuhan tumor, ternyata kadarnya semakin meningkat apabila makanan yang kita konsumsi kaya akan kandungan lemak.

"Ketika kita memasak daging, terbentuklah senyawa HCA (senyawa amina-amina heterosiklis) yang dipercaya dapat menyebabkan kanker. HCA muncul sebagai reaksi antar protein hewani selama proses pemasakan atau browning (pencokelatan). Semakin sedikit HCA yang terbentuk, semakin sehat daging yang kita konsumsi," katanya.

Namun, diakui Prof Tati, banyak orang yang tidak tahu bahwa cara memasak makanan ternyata sangat mempengaruhi jumlah HCA yang terbentuk. Memanggang daging di dalam oven akan menghasilkan HCA lebih sedikit dibandingkan dengan menggoreng, membakar, atau memanggang di atas kompor yang suhunya tinggi.

Sedangkan merebus secara perlahan-lahan dengan panas bertahap, mengukus atau memasak dengan oven, praktis tidak menghasilkan HCA. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa HCA berpotensi mengakibatkan kanker usus besar, payudara, pankreas, hati, dan kandung kemih.

Studi yang dilakukan New York University Medical Center mengemukakan bahwa wanita yang rajin makan daging merah memiliki peluang menderita kanker payudara dua kali lipat, dibandingkan mereka yang hanya makan daging unggas dan ikan.

"Mengonsumsi daging sebaiknya selalu disertai dengan sayur dan buah sebagai sumber antioksidan. Buah-buahan seperti jeruk, sangat kaya akan vitamin C yang merupakan golongan antioksidan kuat. Demikian juga konsumsi sayuran berwarna hijau juga akan menetralkan pembentukan HCA," ucapnya. (Tri Wahyuni/dari berbagai sumber)

Sumber: Suarakarya.com dalam gizi.net


Baca Selanjutnya....