Sabtu, 21 Februari 2009

Radang Usus (Colitis Ulseratif) Bisa Menjadi Kanker

DINFLAMATORY Bowel Disease (IBD) adalah penyakit organik saluran cerna bagian bawah, yang manifestasinya berupa peradangan yang bukan akibat infeksi dan berlangsung kronik. Penyakit ini selalu menarik untuk dibicarakan karena tidak mudah mendiagnosis penyakit ini. Tidak ada gambaran klinis khas, gambaran endoskopik (pemeriksaan teropong usus) tidak spesifik, begitu juga gambaran histopatologiknya (pemeriksaan jaringan).

IBD terbagi atas 2 macam yaitu colitis ulseratif dan penyakit Crohn. Banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin berat. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan insiden IBD masih rendah namun cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati bisa berkembang menjadi kanker kolon yang dapat merenggut nyawa.

Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien IBD di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Diduga peningkatan ini ada hubungan dengan membaiknya sanitasi dan meningkatnya tingkat sosial ekonomi masyarakat. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan hampir 20% kasus IBD dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insidens colitis ulseratif 6,8% dan penyakit Crohn 5,5%.

MANIFESTASI KLINIK
Secara umum penyakit pasien datang dengan keluhan demam, nyeri perut, diare, berat badan turun, malnutrisi dan perdarahan per anus. Perbedaan penyakit Crohn dan Kolitis ulseratif didasarkan pada gambaran klinik yang berbeda pada kedua kelompok penyakit ini.

Pasien dengan penyakit Crohn biasanya datang dengan keluhan awal adanya fistula (lubang tembus) pada anus, selain itu ditemukan massa pada perut. Dilihat dari lokasi yang terkena, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon (usus besar), sedang penyakit
Crohn dapat mengenai kolon dan usus halus terutama ileum (bagian akhir dari usus halus) dan lambung.

Dari sudut komplikasi yang terjadi, pada kolitis ulseratif kemungkinan menjadi kanker lebih besar dibandingkan pada penyakit
Crohn. Komplikasi berupa penyempitan umum dijumpai pada penyakit Crohn, sedang pada kolitis ulseratif tidak.

FAKTOR RESIKO

Meski patogenesis IBD sangat kompleks dan multifaktorial, tapi diyakini disebabkan hasil interaksi antara lingkungan, genetik, mikroba dan faktor imunitas. Hubungan merokok dengan penyakit
Crohn serta hubungan tidak merokok dengan kolitis ulseratif telah diketahui, meski mekanismenya belum jelas. Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian nikotin pada pengobatan kolitis ulseratif. Perubahan lingkungan, seperti perumahan yang lebih bersih, nutrisi yang baik, higienitas yang lebih baik serta penggunaan antibiotik yang luas telah menyebabkan penurunan prevalensi penyakit infeksi.

Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit alergi dan penyakit autoimun, termasuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn. Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) (obat anti radang) dan tindakan appendectomy (operasi usus buntu) dini, menyebabkan gangguan barrier usus yang menyebabkan penurunan insidens kolitis ulseratif. Berbagai penelitian menunjukkan, risiko absolut IBD mencapai 7% diantara anggota keluarga tingkat pertama. Risiko mengalami IBD pada orang tua/saudara kandung adalah 8,9% untuk anak, 8,8% untuk saudara dan 3,5% untuk orang tua.

Berbagai pengamatan menunjukkan faktor genetik berkontribusi pada kerentanan individu terhadap IBD, yang menyebabkan variasi dalam insidens dan prevalensi penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif pada berbagai populasi. Kemungkinan IBD disebabkan oleh infeksi kuman belum bisa sepenuhnya disingkirkan. Lesi IBD lebih sering muncul di lokasi dengan densitas bakteri yang padat, seperti di valvula ileosekal (katup yang menghubungkan usus halus dan usus besar) dan kolon.

Imunoregulasi dalam usus merupakan hal yang sangat kompleks dalam patofisiologi jenis IBD, seperti kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn yang menimbulkan profil imunologis yang berbeda. Ini berakibat pada pengobatan yang semestinya diberikan sesuai dengan patogenesis masing-masing IBD.

DIAGNOSIS

Tidak adanya gambaran klinis yang khas pada IBD menyulitkan untuk didiagnosis. Gejala klinis penyakit ini adalah nyeri dan kejang perut, diare kronis bercampur darah, suhu badan meninggi, kurang nafsu makan, berat badan menurun dan anemia (kurang darah) akibat kehilangan darah yang kronis.

Peranan pemerikasaan radiologi penting untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit ini. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema (zat kontras yang dimasukkan melalui anus), masih merupakan pemeriksaan utama pada kasus-kasus penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium enema memberi gambaran pasti untuk kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn.

Pada penyakit
Crohn, awalnya akan terlihat penebalan pada dinding usus halus pada bagian distal (bagian akhir) dan kolon. Secara khas penebalan usus bisa mencapai 5 – 15 mm. Pemeriksaan ini juga sangat baik untuk mendeteksi adanya edema (pembengkakan karena terisi cairan) mesenterium, fistula, abses dan pembesaran kelenjar getah bening. Endoskopi memegang peranan penting, bukan saja untuk melakukan diagnosis, tetapi juga tatalaksana dan pengawasan untuk penyakit IBD. Endoskopi dapat menyingkirkan kemungkinan lain dari IBD seperti keganasan atau TBC usus. Pemeriksaan endoskopi dapat membedakan penyakit Crohn dan kolitis ulseratif didasarkan bentuk lesi yang ditemukan, lokasi lesi, bagian kolon atau usus halus yang terlibat serta luasnya lesi.
Melalui edoskopi juga bisa melakukan biopsi untuk mendapatkan sampel dari jaringan yang terkena, untuk evaluasi histopatologi (pemeriksaan jaringan).

PENATALAKSANAAN

Malnutrisi merupakan problem klinis yang penting pada pasien IBD. Berat badan pasien sering turun, hipoalbuminemia (kekurangan kadar protein albumin dalam darah), anemia (kurang kadar Hb/Hemoglobin darah), dan defisiensi vitamin D. Terapi nutrisi merupakan salah satu faktor penting dalam penatalaksanaan IBD. Tujuan utama terapi nutrisi bagi pasien IBD yaitu mengobati defisiensi nutrisi dan mengurangi radang.

Defisiensi beberapa nutrien spesifik bisa diatasi dengan memberikan suplemen berupa zat besi per oral (melalui mulut) atau parenteral (melalui infus) penting diberikan pada pasien dengan perdarahan usus. Suplementasi khusus dengan kalsium, magnesium, zinc, vitamin B12, D dan K dibutuhkan bila ada manifestasi klinis/biokimiawi dari defisiensi. Makanan tertentu yang merangsang, dan yang menimbulkan keluhan atau eksaserbasi (kekambuhan) seperti nyeri perut atau diare, sebaiknya dihentikan.

Bila ada intoleransi (tak tahan) laktosa, sebaiknya menghindari susu sapi. Pasien striktur harus menghindari makanan yang tinggi serat dan residu seperti kacang-kacangan, pop corn dan sereal. Suplementasi asupan per oral dengan diet formula khusus, dapat mencegah atau memperbaiki malnutrisi. Diet formula khusus dapat diberikan per oral atau dengan pipa nasogastrik. Beberapa pasien IBD memerlukan nutrisi parenteral, misalnya pada obstruksi (sumbatan) usus halus kronik yang tidak dapat dioperasi atau pada pasien setelah (pemotongan) usus halus dalam jumlah besar.

Operasi atas indikasi yang tepat akan sangat menurunkan angka kematian karena komplikasi seperti megakolon toksik, perforasi (usus bocor), sepsis (panas tinggi karena infeksi berat yang menyebar lewat darah keseluruh tubuh) dan komplikasi akut lainnya seperti striktur dan perdarahan hebat. Operasi yang biasa dilakukan adalah proktokolektomi dan ileostomi.

Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan lamanya penyakit IBD. Terdapat 2% insiden kanker setelah 10 tahun, 9% setelah 20 tahun dan 19% setelah 30 tahun. Karena resiko berkembangnya kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan berjalannya waktu, direkomendasikan untuk melakukan proktokolektomi total untuk pasien IBD lebih dari 8 – 10 tahun.

(Sumber:Harian Suara Merdeka, Senin 17 April 2006)
(Dr. Djoko Merdikoputro, Sp.PD)

Analisis Meddia Herbal:
PENANGANAN DENGAN MEDDIA HERBAL

Terapi untuk kasus IBD dapat dilakukan dengan
menggunakan produk MEDDIA Herbal yaitu BANDRUX, jika sudah mengalami perdarahan maka ditambahkan PASCOP.



Baca Selanjutnya....

Saatnya Beralih Ke Herbal

Hidup kembali ke alam atau lebih trend dengan sebutan back to nature, kini bukan saja menjadi semboyan namun telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern yang merindukan segala sesuatu yang selaras dan seimbang dengan alam. Kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin cepat, menuntut manusia untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan yang disadari atau tidak, hal ini akan mempengaruhi keseimbangan ritme hidupnya sehingga dapat menyebabkan terganggunya kesehatan akibat dari pengaruh pola dan gaya hidup yang kurang baik.

Menurut pengobatan modern, terjadinya penyakit itu karena adanya patogen eksternal tertentu yang menyerang tubuh, dan penyakit dianggap sebagai musuh yang harus dimusnakan. Terapi yang dijalankan berupa eradikasi (pemusnahan) dengan menggunakan bahan kimia (chemical), operasi dan penyinaran (radiasi). Sedangkan menurut pengobatan tradisional, terjadinya penyakit lebih dikarenakan adanya gangguan keseimbangan dalam tubuh atau adanya defisiensi diantara berbagai macam energi internal dan metabolisme. Penyakit bukan dianggap musuh yang harus dimusnahkan, sehingga terapi yang dijalankan adalah dengan mengembalikan keseimbangan baik energi maupun metabolisme dalam tubuh dengan bahan alami.

Penyakit yang timbul belakangan ini lebih banyak disebabkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain: diabetes (kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal, dll. Sedangkan yang termasuk penyakit degeneratif antara lain adalah : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambeien/wasir) dan pikun (Lost of memory).

Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehingga jika menggunakan obat modern dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam atau obat tradisional, yang mempunyai kelebihan yaitu meskipun penggunaannya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

Dalam bidang pengobatan, pada dekade akhir abad ke 20 semangat "back to nature" mulai bergema di dunia barat (negara-negara maju) dimana masyarakat mulai sadar bahwa pengobatan modern yang umumnya menggunakan obat kimia memiliki kelemahan-kelemahan yang signifikan, dan mulai kembali pada pengobatan alami (tradisional) yang menggunakan tanaman obat (herbal) karena khasiat serta manfaatnya telah dirasakan. Obat herbal Indonesia selama ini lebih dikenal dengan nama jamu dan identik dengan serbuk yang harus diseduh.

Obat modern adalah obat yang dibuat dari bahan sintetik atau bahan alam yang diolah secara modern, digunakan serta diresepkan oleh dokter dan kalangan medis untuk mengobati penyakit tertentu. Sedangkan obat tradisional umumnya berupa herbal yang diracik dari tanaman atau tumbuhan obat, dimana sebagian besar komponen kimia dari tanaman tersebut merupakan hasil metabolit sekunder. Obat tradisional, dalam hal ini yang berbentuk jamu telah dikenal masyarakat Indonesia sejak berabad silam sebagai bagian dari usaha menjaga kesehatan, menambah kebugaran, atau meningkatkan kecantikan. Mengkonsumsi obat tradisional diyakini mengandung manfaat yang luar biasa bagi sistem metabolisme tubuh dan tidak berdampak negatif pada kesehatan, karena tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Hingga saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman. Sebagai contoh misalnya aspirin adalah analgesik paling popular yang diisolasi dari tanaman Salix dan Spiraea, vincristin obat kanker yang diisolasi dari ekstrak Tapak Dara (Catharanthus roseus). Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari 7 negara yang mempunyai keanekaragaman hayati terbesar ke dua setelah Brazil, tentu sangat potensial dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman obat kita sendiri. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologi yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit.

Obat-obatan yang berasal dari bahan kimia tetap bisa dikonsumsi selama dosis yang digunakan masih dalam batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Namun tidak dipungkiri, penggunaan obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek negative terhadap berbagai fungsi dan sistem kerja organ tubuh bila dikonsumsi dalam jangka lama.

Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan dalam menggunakan obat modern (obat kimia) diantaranya :
  1. Dapat menimbulkan efek samping, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dikarenakan sifat dari obat kimia yang berlawanan dengan tubuh. Obat kimia berasal dari senyawa anorganik yang bersifat sintetik, sedangkan kondisi tubuh kita bersifat organis dengan reaksi-reaksi kimia kompleks yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu jika obat kimia dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan terakumulasi di dalam tubuh, dan hal ini dapat mengakibatkan terganggunya fungsi dan sistem kerja organ seperti gangguan pada ginjal, gangguan fungsi hati, pada sebagian orang dapat menyebabkan timbulnya alergi karena daya tahan tubuh tiap orang tidak sama, serta berbagai gangguan lainnya.
  2. Hanya memperbaiki beberapa fungsi sistem tubuh, namun tidak memberikan kesembuhan total.
  3. Terkadang kurang efektif untuk mengobati penyakit tertentu yang belum diketahui faktor utama penyebabnya, sehingga pasien bisa minum obat dalam waktu lama tanpa mengalami perbaikan kesehatan yang signifikan.
  4. Harga obat yang tergolong mahal karena sebagian besar bahan baku dan peralatan teknologi yang digunakan masih impor, disamping fluktuasi kurs mata uang di pasar dunia.

Sedangkan pertimbangan yang dapat digunakan bagi mereka yang memilih herbal sebagai obat adalah :
  1. Faktor keamanan, karena herbal tersusun dari bahan-bahan organik dan bersifat kompleks dimana hal ini sesuai dengan kondisi tubuh maka reaksi persenyawaan yang terjadi tidak akan bertentangan. Disamping itu dapat dikonsumsi oleh seluruh keluarga dengan berbagai tingkatan usia.

  2. Efek samping relatif kecil bahkan bisa dikatakan tidak ada, karena banyaknya zat yang terkandung dalam satu tanaman, sehingga konsentrasi dari tiap zat itu relatif kecil atau dosisnya relatif kecil. Berdasarkan prinsip paracelsus; dosis sola fecit venenum, atau dosislah yang menentukan sesuatu menjadi racun, karena dosis setiap zat dalam tanaman obat relatif kecil maka umumnya tanaman obat tidak toksik.

  3. Efektif untuk mengobati penyakit yang sulit disembuhkan dengan obat kimia seperti: Kanker, Tumor, Darah Tinggi, Darah rendah, Diabetes, Hepatitis. Stroke, Sinusitis, Herpes, Bau badan dll. Dipelajari berdasarkan pengalaman emperis, secara lisan dan tulisan kemudian diteliti dari berbagai aspek seperti botani, kimiawi dan farmakologi. Pendekatan dalam penggunaan herbal lebih ditekankan pada aspek farmakologinya yaitu fungsi herbal dalam proses pengobatan.

  4. Obat herbal memiliki kemampuan memperbaiki keseluruhan sistem karena bekerja dalam lingkup sel dan molekuler. Selain itu juga memiliki kemampuan dalam memperbaiki aktivitas biomolekuler tubuh. Kemampuan ini ada karena obat herbal dapat melakukan biosintesis kombinasi dari senyawa metaboilit sekundernya.

  5. Dapat meningkatkan dan memperbaiki ekspresi gen dalam tubuh. Saat ekspresi gen meningkat dan menjadi lebih baik, hormon dan sistem imun tubuh akan bekerja lebih optimal.Harga relatif terjangkau dan dapat ditanam sendiri dengan membuat tanaman obat keluarga (TOGA).

  6. Penerapannya lebih sederhana, jika diagnosa sudah ditegakkan maka pengobatan dan perawatan dapat dilakukan oleh anggota keluarga, meski bantuan medis masih tetap bisa diperlukan ,misalnya untuk sarana laboratorium.

Disamping berbagai hal tersebut diatas, obat tradisional juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

  • Efek farmakologisnya lemah
  • Bahan baku belum terstandarisasi
  • Bersifat higroskopis serta volumines
  • Mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme.

Obat herbal diprediksi mempunyai prospek yang semakin bagus di masa mendatang, sehingga perlu upaya penyiapan strategi, penyempurnaan regulasi, penguasaan dan penerapan iptek dalam pengembangan obat alami ini. Jika ingin berkembang lebih luas dan siap bersaing dengan pasar global, maka mutu produk harus ditingkatkan karena menjadi salah satu kunci dalam persaingan pasar global. Besarnya peluang tersebut bisa membuat produksi obat herbal Indonesia menjadi salah satu sumber devisa negara.


Baca Selanjutnya....