Senin, 16 Februari 2009

Tanaman Obat Keluarga (TOGA) Untuk Kesehatan Keluarga

Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dalam upaya pelayanan kesehatan yaitu Primary Health Care (PHC) sebagai suatu strategi untuk mencapai kesehatan semua pada tahun 2000. Salah satu unmsur penting dalam PHC antara lain penerapan teknologi tepat guna dan peran serta masyarakat.

Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan. Hal ini disebabkan antara lain karena pengobatan tradisional telah sejak dahulu kala dimanfaatkan oleh masyarakat serta bahan-bahannya banyak terdapat di seluruh pelosok tanah air. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, obat tradisional perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih meningkatkan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang semakin luas dan kompleks dengan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 99a/Menkes/SK/III/1982 tanggal 2 Maret 1982 telah di tetapkan Sistem Kesehatan Nasional yang merupakan penjabaran pola Pembangunan Nasional dan sebagai petunjuk pelaksanaan pembangunan dibidang kesehatan.

Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal sebagai perwujudan kesejahteraan umum. Flora dan fauna serta mineral yang berkhasiat sebagai chat harus dikembangkan dan disebar luaskan agar maksimal mungkin dapat dimanfaatkan dalam upaya-upaya kesehatan masyarakat. Khususnya untuk tanaman chat penyebar luasannya dapat dilakukan melalui TOGA (tanaman chat keluarga).


Pengertian TOGA


Toga adalah singkatan dari tanaman chat keluarga. Taman obat keluarga pada hakekatnya sebidang tanah baik di halaman rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan. Kebun tanaman ohat atau bahan ohat dan selanjutnya dapat disalurkan kepada masyarakat , khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Pemanfaatan Tanaman Obat

Berbicara tentang pemanfaatan tanaman obat atau bahan obat alam pada umumnya sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Sejak terciptanya manusia di permukaan bumi, telah diciptakan pula alam sekitarnya mulai dari Baru itu pula manusia mulai mencoba memanfaatkan alam sekitarnya untuk memenuhi keper uan alam kehidupannya, termasuk keperluan akan obat-obatan dalam angka mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan obat-obatan asal bahan alam tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa chat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan peranannya dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan masyarakat. Adapun pemanfaatan TOGA yang digunakan untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala umum adalah:

1. Demam panas

2. Batuk

3. Sakit perut

4. Gatal-gatal

Berbagai macam ramuan yang dapat digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit menurut Depkes (1992) adalah sebagai berikut:
ad.1. Demam

Ramuan demam panas biasa


a. bahan

• Jeruk nipis 1 buah

• Bawang merah 3 biji

• Minyak kelapa 1 sendok makan

• Garam (sedikit)

b. Cara pembuatannya

• Peras jeruk nipis, ambil airnya

• Parut bawang merah, terlebih dahulu dilapisi dengan daun pisang

• Campurkan jeruk nipis dan bawang merah tersebut tambahkan garam dengan minyak.

c. Cara pemakaian

• Dikompreskan pada ubun-ubun

Demam panas karena maria

a. Ciri – ciri penyakit

• Panas menggigil

• keringat dingin

• Nyeri otot

• Pucat, lesu

• Sakit kepala

b. Bahan yang diperlukan

• Jeruk nipis 1 buah dibelah

• Daun pepaya 1/2 pelepah

• Kencur 1 jari dipukul/dimemarkan

• Air 3 gelas

c. Cara pembuatan

• Semua bahan direbus, kalau perlu di tambah dengan gula merah secukupnya sampai airnya tinggal 1 1/2 gelas.

d. Cara pemakaian

• Minimal diminum 3 x sehari 1/2 gelas. Diulang lagi setiap hari sampai 1 minggu.


Demam Panas Karena Campak (Babagen)


a. Ciri-ciri penyakit

• Panas tinggi

• Anak rewel, lemah

• Batuk-batuk

• Mata merah

• Bintik-bintik merah coklat di kulit

b. Bahan yang diperlukan

• Daun sambiroto 4 lembar

• Pule 1 ibu jari

• Air 1 gelas

c . Cara pembuatan

• Daun sambiroto, pule dibersihkan, kemudian didihkan sampai menjadi 1/2 gelas

d. Cara pemakaian

• Diminum 2 x sehari 1/2 gelas pagi dan sore, ulangi tiap hari sampai panasnya mereda.



ad.2. Batuk

Ramuan Batuk biasa

a. Bahan

• Kencur 3 jari

• Garam sedikit

b. Cara pembuatan

• Kupas kencur dan parut

• Tambahkan air 3/4 cangkir

• Peras dengan kain bersih dan Baring.

c. Cara pemakaian

• Diminum 2 x sehari 1 ramuan untuk anak-anak dan dewasa.


Batuk pilek


a. Ciri-ciri penyakit

• Pilek , keluar lendir/cairan ingus dari hidung.

• Kadang-kadang disertai panas.

• Sakit kepala

• Hidung tersumbat

• Nyeri otot

b. Bahan yang dipergunakan

• Air teh kental 3/4 gelas

• Air jeruk nipis 3 sendok makan

• Gula batu sebesar telur ayam

c. Cara pembuatan

• Campur semua bahan, diaduk sampai larut.

d. Cara pemberian

• Orang dewasa minum 3 kali sehari 1 ramuan

• Anak-anak 3 kali sehari 1/2 cangkir

* Anak Balita jangan diberi ramuan ini.


Batuk asma


a. Ciri-ciri penyakit

• Napas berbunyi

• Berkeringat

• Sesak napas

b. Bahan

• Daun randu (daun kapuk) 7 helai

• Pegagan 1 genggam

• Gula batu saecukupnya.

• Air matang 1 cangkir.

c. Cara pembuatan

• Cuci daun randu dan pegagan

• Tumbuk dengan sediki t air, setelah halus tambah air matang dan saring

• Beningnya ditambah dengan gula batu dan aduk hingga larut.

d. Cara pemakaian

• Diminum 1 x sehari 1 ramuan, pagi hari sebelum makan

• Diulang tiap hari sampai sembuh

• Untuk pemeliharaan cukup 1 minggu sekali satu ramuan


ad. 3 Sakit perut


Ramuan sakit perut biasa

a. Bahan yang diperlukan

• Gula pasir 3/4 sendok makan

• Minyak kayu putih 3 tetes

b. Cara pembuatan

• Gula pasir ditetesi dengan minyak kayu putih Dicampur

c. Cara pemakaiannya

• Campuran ini dimakan, disertai minum teh


Ramuan sakit perut disertai mencret


a. Ciri-ciri penyakit

• Berak encer lebih 3 kali sehari

• Sakit perut saat berak

• Kadang rasa mual dan kembung.

b. Bahan yang diperlukan

• Daun jambu biji muda satu genggam.

• Adas 5 butir (1/3 sendok teh).

• Pulo sari 2 jari tangan

• Air 2 cangkir

c. Cara membuatnya

• Bahan setelah dicuci dipotong kecil-kecil kemudian didihkan sampai diperoleh 1 cangkir

d. Cara pemakaian

• Diminum 2 x sehari 1/2 cangkir.


Muntah mencret


Berikan ramuan mencret di tambah dengan ramuan muntah yaitu:
a .Bahan

• Parutan pala 1 sendok teh

• Garam sedikit

b. Cara pembuatan

• Kedua bahan dicampur

c. Cara pemakaian

• Makanlah ramuan tersebut.

• Sakit maag (sakit ulu hati)

a. Ciri-ciri penyakit

• Sakit terasa perih terutama daerah ulu hati.

• Mual

• Kadang-kadang disertai keringat dingin dan pusing

• Perut kembung.

b. Bahan yang dipergunakan

• Kunyit yang tua 2 jari tangan

• Air matang 1/2 cangkir

c .Cara pembuatan

• Kupas kunyi t dan bersihkan

• Parut kunyi t tambah air matang

• Peras dengan kain bersih

• Ambil beningnya

d. Cara pemakaiannya

• Minum 2 x sehari satu ramuan, pagi hari sebelum makan dan malam hari sebelum tidur.



ad.4. Gatal

Ramuan gatal-gatal biasa


a. Bahan yang diperlukan

• Batang Brotowali 2 sampai 3 jari

• Air 6 gelas

b. Cara pembuatan

• Campuran dididihkan selama 1/2 jam

c. Cara pemakaian

• Air brotowali gunakan untuk mencuci kulit yang gatal


Ramuan gatal karena panu


a. Ciri-ciri penyakit

• Bercak putih halus, berbatas tegas

• Rasa gatal pada waktu berkeringat.

b. Bahan yang diperlukan
• Lengkuas 1 jari

• Cuka 1 sendok makan

c. Cara pembuatan

• Lengkuas dipotong miring

• Bagian ujungnya dipukul-pukul hingga berserabut seperti kuas.

d. Cara pemakaian

• Kuas lengkuas yang sudah direndam dalam cuka digosokkan pada kulit yang sakit 2 x sehari.


Ramuan gatal karena kurap

a. Ciri-ciri penyakit

• Bercak-bercak bundar di kulit selebar beberapa cm dengan tepi berbatas jelas kemerahan.

• Bersisik biasanya dibadan, tangan, kaki, lipatan paha, sela jari dan kepala.

b .Bahan yang diperlukan

• Daun landep 1 genggam.

• Jeruk nipis 1 buah

c. Cara pembuatan

• Daun landep dilumatkan

• Jeruk nipis dipotong dan diperas

• Campurkan pada daun landep yang telah dilumat.

d. Cara pemakaiannya.

• Dioleskan pada kulit yang sakit.


Ramuan gatal kerena kudis


a. Ciri-ciri penyakit

• Bintik-bintik bergerombol

• Rasa amat gatal terutama diantara jari-jari tangan dan kaki.

• Pergelangan sebelah dalam dan pantat.

b. Bahan yang diperlukan

• Daun sambiloto segar 1 genggam

• Belerang sedikit

c. Cara pembuatannya

• Bahan ditumbuk bersama-sama sampai halus dan rata.

d. Cara pemakaian

• Dilumurkan pada kulit yang sakit.



Jenis-jenis Tanaman Untuk TOGA


Jenis tanaman yang harus dibudidayakan untuk tanaman obat keluarga adalah jenis-jenis tanaman yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Jenis tanaman disebutkan dalam buku pemanfaatan tanaman obat.

b. Jenis tanaman yang lazim digunakan sebagai obat didaerah pemukiman.

c. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan hidup dengan baik di daerah pemukiman
Sumber : TUKIMAN Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara



Baca Selanjutnya....

Antibiotika Pada Anak (2)

Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika?. Hal ini bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.

Penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat.

Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia belum ada data resmi tentang pengguanaan antibiotika ini. Sehingga semua pihak saat ini tidak terlalu. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pengguanaan antibiotika di Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan.


Bahaya Penggunaan Antibiotika Irasional Pada Anak Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas.



Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Harga obat antibiotika sangat mahal dan merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anak-anak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anakmendapatkan antibiotika.

Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam,gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa atau reaksi anafilaksis.

Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh Namur atau disebut "superinfection". Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut "superbugs". Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan Antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiotika ditemukan. Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan drastis melonjak naik. Hal lain yang mungkin terjadi nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal.

Indikasi Pemakaian Antibiotika Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10-14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari).

Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2- 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10-14 hari. Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan yang terjadi hanya pada malam hari dan pagi hari (bukan sepanjang hari) biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, bengkak di sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2-3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10-14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus.

Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Bila sakit batuk dan pilek timbul sepanjang hari (bukan hanya malam dan pagi hari) lebih dari 10-14 hari disertai cairan hidung mukopurulen (kuning atau hijau). Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur yang membutuhkan beberapa hari untuk observasi. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan sample urin dan kemudian di lakukan pemeriksaan kultur di rumah sakit. Setelah beberapa hari akan ketahuan bila ada infeksi bakteri berikut jenisnya dan sensitivitas terhadap jenis obatnya.

Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kulut urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium. Infeksi virus dengan peningkatan sedkit pemeriksaan nilai widal sudah divonis gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika.

Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10-15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk "self limiting disease" atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5-7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita pilek(flu) karena virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarana sekali terjadi komplikasi bakteri.

Siapa Yang Bertanggung Jawab Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, sales representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat. Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dokter dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiótika.

Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan antibiótika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebihmengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiótika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau
di toko obat meskipun tanpa resep dokter. Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative dan apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan. Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar belakang ke ilmiuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan keperntingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini. Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya.

Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan. Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0-4 tahun yang mendapatkan antibiotika menurun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiótika yang diresepkan menurun, dari 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, pada tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.

Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan penggunaan antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasinol di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini akan dapat terpecahkan. Jangan sampai terjadi, kita semua baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serius.

Pengalaman yang pernah ditangani oleh Meddia Herbal dalam hal penggunaan antibiotika pada anak yaitu dengan menggunakan produk PASCOP. Dari pengalaman tersebut, diketahui tumbuh kembang dan daya tahan tubuh anak terhadap berbagai penyakit sangat bagus, padahal anak yang bersangkutan tidak mendapatkan imunisasi sejak lahir. Ini membuktikan bahwa herbal bekerja membangun sistem kekebalan di dalam tubuh sang anak.


Sumber : (Penggunaan Antibiotika Irasional Pada Anak Dr Widodo Judarwanto SpA (RS Bunda Jakarta, Children Family Clinic)
Baca Selanjutnya....

Antibiotika Pada Anak (1)

Antibiotika (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali dengan kebanyakan keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal ini merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara Barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman.

Populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak/jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup komplex. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat.
Anak juga selalu dikatakan bahwa mereka bukan merupakan orang dewasa kecil, dan memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik.

Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini.

Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap jenis virus sangatlah banyak sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak.

Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (tanpa adanya kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 - 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, AB untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya.

Antibiotik sejak lama dianggap sebagai obat ajaib yang dapat membantu memerangi infeksi bakteri. Banyak orang beranggapan, semua gangguan kesehatan harus diatasi dengan antibiotik. Padahal, penggunaan antibiotik yang tidak rasional justru dapat merugikan dan menyebabkan resistensi bakteri. Keterangan itu disampaikan Prof. Amin Soebandrio, dalam Seminar Kesehatan Anak Paket Edukasi Orang Tua Sehat (Pesat) di Aula BAIS Jln. Gunung Agung No. 14 Bandung. ”Antibiotik hanya digunakan bila benar-benar diperlukan untuk mengobati infeksi bakteri. Jika gejala penyakit lebih ke arah infeksi virus, maka antibiotik tidak akan menolong,” ujar Amin. Dia menjelaskan, infeksi akibat bakteri yang memerlukan antibiotik, antara lain memiliki gejala suhu tubuh tinggi berkepanjangan, cairan hidung kental dan berwarna, serta batuk yang cukup lama. Sementara, untuk flu akibat infeksi virus tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Sementara itu, dr. Purnamawati Sujud Pujiarto, Sp.A.K, mengatakan, pasien atau konsumen harus mengetahui kapan mereka memerlukan antibiotik dan kapan tidak perlu mengonsumsinya. Kesadaran semacam itu, sangat membantu dokter karena tidak jarang justru pasien yang minta diberikan antibiotik.

”Semakin sering kita mengonsumsi antibiotik untuk penyakit akibat virus, semakin sering kita sakit. Penggunaan antibiotik yang berlebihan tidak akan menguntungkan, bahkan merugikan dan membahayakan,” katanya. Ia menyesalkan, masih banyak pola pikir yang salah di masyarakat bahwa penggunaan antibiotik dapat mempercepat kesembuhan termasuk pada penyakit infeksi virus. Padahal, hasil penelitian membuktikan, tidak ada perbedaan lama sakit antara kelompok yang memperoleh antibiotik dan yang tidak.


Resistensi bakteri

Prof. Amin menjelaskan, penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat, dapat menimbulkan resistensi bakteri. Artinya, bakteri dapat bertahan terhadap pengaruh suatu antibiotik. Ia juga menjelaskan, untuk mengembangkan antibiotik, memerlukan waktu 10-15 tahun, tetapi untuk bakteri agar resisten terhadap antibiotik, hanya perlu waktu 2-3 tahun.

Keberadaan bakteri yang sudah resisten dalam tubuh individu, kata Amin, juga dapat menimbulkan infeksi pada orang lain. Infeksi dapat terjadi di rumah sakit, masyarakat, dan melalui makanan. ”Jika sampai terjadi resistensi bakteri, maka penyakit yang kita alami biasanya bisa disembuhkan dengan antibiotik sederhana dan harga murah. Maka, selanjutnya memerlukan antibiotik yang lebih kompleks dengan harga ratusan ribu rupiah,” katanya.

Sementara itu, Purnamawati juga memaparkan, bakteri resisten selanjutnya dapat menginfeksi seluruh populasi. Sedangkan tidak ada antibiotik yang mempan membunuh bakteri resisten yang menginfeksi populasi, sekalipun orang di populasi tersebut baru pertama kali memakai antibiotik. ”Kenyataannya, kita terlalu boros dalam menggunakan antibiotik, sehingga bisa menimbulkan dampak buruk antara lain sakit berkepanjangan, biaya yang lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih toksik, dan waktu sakit yang lebih lama. Hal itu membuat kita dapat menularkan kuman resisten kepada komunitas,” ujar Purnamawati. Karena itu, menurut Purnamawati, pasien diharapkan tidak selalu meminta dokter memberikan antibiotik terutama untuk penyakit infeksi virus seperti flu, pilek, batuk, atau radang tenggorokan. Antisipasi penggunaan antibiotika pada anak anda, karena mereka adalah kekayaan terbaik anda.


Baca Selanjutnya....